PERUANGAN MEMPERTAHANKAN INTEGRASI BANGSA DIAWAL KEMERDEKAAN
A.
Faktor Penyebab Konflik Indonesia Belanda
Perjuangan
bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan hari demi hari semakin nyata
hasilnya. Akan tetapi tantangan yang dihadapi selalu silih berganti. Seperti
telah kita ketahui bahwa Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1945. Selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan dipilih Ir. Soekarno sebagai Presiden sedangkan Drs. Moh.
Hatta sebagai Wakil Presiden. Perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya semakin
berat karena harus mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kekuasaan bangsa
asing. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antara
Indonesiadengan Belanda sebagai berikut.
1. Kedatangan
Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA
Semenjak Jepang menyerah
kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 secara hukum tidak lagi berkuasa di
Indonesia. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala Tentara Kerajaan Jepang
di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan kepada Sekutu dan tidak
kepada pihak Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945 Mayor Greenhalgh datang
di Jakarta. la merupakan perwira Sekutu yang pertama kali datang ke Indonesia.
Tugas Greenhalgh adalah mempelajari dan melaporkan keadaan di
Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu. Pada tanggal 29 September 1945
pasukan Sekutu mendarat di Indonesia antara lain bertugas melucuti tentara
Jepang. Tugas ini dilaksanakan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang
bernama South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis
Mountbatten yang berpusat di Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu,
Mountbatten membentuk suatu komando khusus yang diberi
nama Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah
Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Adapun
tugas AFNEI di Indonesia adalah :
a. menerima
penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang;
b. membebaskan
para tawanan perang dan interniran Sekutu;
c. melucuti
dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan;
d. menegakkan
dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah
sipil; dan
e. menghimpun
keterangan dan menuntut penjahat perang.
Pasukan AFNEI mulai
mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 yang terdiri dari tiga
divisi yaitu :
1. Divisi
India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas untuk
daerah Jawa Barat;
2. Divisi
India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang
bertugas untuk daerah Jawa
Timur;
3. Divisi
India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas untuk
daerah Sumatra.
Pasukan-pasukan AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa,
sedangkan untuk daerah Indonesia lainnya diserahkan tugasnya kepada angkatan
perang Australia .
Semula rakyat Indonesia
menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan
perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya,sikap
rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang
didirkanorang-orang Belanda yang melarikan diri ke Australiasetelah Belanda
menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di
Australia. Keadaan bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL
setelah dilepas Oleh Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda
berkuasa di Indonesia menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA
dan Sekutu.
2. Kedatangan
Belanda (NICA) Berupaya untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya di Indonesia
NICA
berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch
Leger, yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia).
Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi
sehingga memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI, Christison menyadari
bahwa untuk kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah Republik
Indonesia. Oleh karena itu diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI.
Christison mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia pada
tanggal 1 Oktober 1945. la tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut
statuskenegaraaan Indonesia. Dalam kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat
hura-hara dan tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA
sering melakukan teror terhadap pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa
Indonesia mengetahui bahwa kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah
untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita
berjuang dengan cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan
Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini
akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya
B. Peran
Dunia Internasional dalam penyelesaian konflik Indonesia
1. Peran
PBB
Masuknya
kembali Belanda ke Indonesia dengan membonceng Sekutu ternyata berakibat
konflik yang berkepanjangan antara Indonesia dengan Belanda. Untuk itu bangsa
Indonesia berjuang dengan cara diplomasi maupun kekuatan senjata. Pada tanggal
25 Maret 1947 Indonesia dan Belanda menandatangani Persetujuan Linggajati.
Meskipun persetujuan Linggajati ditandatangani, namun hubungan antara Indonesia
dengan Belanda semakin memburuk. Belanda melakukan pelanggaran terhadap
persetujuan Linggajati maupun perjanjian gencatan yang diadakan sebelumnya
dengan melancarkan agresi militer terhadap pemerintahan Indonesia pada tanggal
21 Juli 1947. Kota-kota di Sumatera maupun Jawa digempur dengan pasukan
bersenjata lengkap dan modern. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA
yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya
(Malaysia) kepada Indonesia ditembak oleh pesawat Belanda diYogyakarta. Gugur
dalam peristiwa ini di antaranya Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor
Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh.
Bagaimana
reaksi dunia luar terhadap tindakan Belanda yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap Indonesia tersebut? Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia
mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam
Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang
mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan
pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain.
Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik
Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang
berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk
mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah
pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan.
Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan
dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul
ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan
pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata.Usul di atas didukung oleh Amerika
Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia, dan Suriah tetapi diveto
Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan Indonesia.Pada tanggal 25
Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerima usul Amerika Serikat tentang
pembentukan Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee ofGood Offices) untuk membantu
menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Komisi inilah yang kemudian dikenal
dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas
a. Australia
(diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia,
b. Belgia
(diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda,
c. Amerika
Serikat (diwakili oleh Dr. Frank PorterGraham), atas pilihan Australia dan
Belgia.
Pada tanggal 27 Oktober
1947 KTN tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya. Dalam melaksanakan
tugasnya, KTN mengalami kesulitan karena Indonesia maupun Belanda tidak mau
bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil
mempertemukan Indonesia-Belanda dalam suatu perundingan yang berlangsung pada
tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat “Renville” yang
berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan perundingan Renville.
Akibat dari perundingan Renville wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan
daerah-daerah yang kaya karena diduduki Belanda.
2. Peran
Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Aksi
militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap Republik Indonesia menimbulkan
reaksi dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat tidak setuju dengan tindakan
Belanda itu, tetapi ragu-ragu turun tangan. Di antara negara yang tampil
mendukung Indonesia adalah Autralia dan India. Australia mendukung Indonesia
karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan dunia sesuai dengan piagam PBB.
Di samping itu Partai Buruh Australia yang sedang berkuasa sangat simpatik
terhadap perjuangan kemerdekaan. Sedangkan India mendukung Indonesia karena
solidaritas sama-sama bangsa Asia juga senasib karena sebagai bangsa yang
menentang penjajahan. Hubungan Indonesia dengan India terjalin baik terbukti
pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi sebanyak 500.000 ton untuk
disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya kelaparan. Sebaliknya
India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian, dan mobil.
Pada
waktu Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada tanggal 19
Desember 1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana
Menteri Birma (Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia. Konferensi ini
diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri
oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma (Myanmar), Sri
Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi
Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari
negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil
dari Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr.
Surdarsono, H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo.
Konferensi
Asia tersebut menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan
Keamanan PBB. Isi resolusinya antara lain sebagai berikut.
a. Pengembalian
Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Pembentukan
perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar
negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c. Penarikan
tentara Belanda dari seluruh Indonesia Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah
Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Dengan adanya dukungan
dari negara-negara di Asia, Afrika, Arab, dan Australia terhadap Indonesia,
maka pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai berikut.
a. Mendesak
Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi
militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan
gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b. Mendesak
Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil
Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah
RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian
pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam
suasana yang benar-benar bebas.
c. Menganjurkan
agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggar
jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu
pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949,
Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat
selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d. Sebagai
tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi
UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk
Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan
yang mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan
perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah
Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai
berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
Resolusi
itu dirasa oleh bangsa Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa Dewan
Keamanan PBB tidak mendesak Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI selain
Yogyakarta. Di samping itu Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas
pelanggaran terhadap resolusinya. Akan tetapi, bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang cinta damai maka selalu menaati semua isi resolusi sepanjang sesuai dengan
prinsip Indonesia Merdeka dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.
C. Pengaruh
Konflik Indonesia terhadap Keberadaan NKRI
1. Terbentuknya
negara-negara bagian
Di
dalam perjanjian Linggajati yang disetujui pada tanggal 15 November 1946
terdapat butir tentang rencana pembentukan negara Serikat. Hal ini berarti RI
terdiri atas negara-negara bagian. Oleh karena itu, Belanda menghendaki
sebanyak mungkin negara bagian dalam RIS sebagai negara bonekanya.
Negara-negara boneka itu adalah negara-negara bagian yang dibentuk Belanda.
Negara-negara tersebut tergabung dalam BFO (Bijenkomst Federaal Overleg). Yang
menjadi ketua BFO adalah Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Dengan demikian
akan sangat menguntungkan posisi Belanda dalam RIS.
Belanda
menyadari bahwa dilihat dari kondisi yang dimiliki oleh Indonesia yang serba
pluralis itu tentu negara Serikat akan mampu untuk terus menerapkan politik
pecah-belahnya. Negara-negara yang dibentuk Belanda itu adalah sebagai berikut,
a. Negara
Indonesia Timur : Negara ini dibentuk berdasarkan Konferensi Denpasar yang
berlangsung tanggal 18 sampai 24 Desember 1946. NIT ini meliputi Sulawesi, Nusa
Tenggara, dan Maluku. Presidennya adalah Tjokorde Gede Raka Sukawati.
b. Negara
Sumatera Timur : Negara ini terbentuk tanggal 25 Desember 1947. Yang menjadi
wali negaranya adalah Dr. Mansjur.
c. Negara
Madura : Negara ini berdiri pada tanggal 20 Februari 1948. Kepala negaranya adalah
Tjakraningrat.
d. Negara
Pasundan : Negara ini berdiri pada tanggal 24 April 1948. Wali negaranya adalah
Wiranatakusumah.
e. Negara
Sumatera Selatan : Negara ini terbentuk tanggal 30 Agustus1948. Kepala
negaranya adalah Abdul Malik.
f. Negara
Jawa Timur : Negara ini berdiri pada tanggal 26 November 1948. Kepala negaranya
adalah Kusumonegoro (Bupati Banyuwangi).
Disamping
enam negara tersebut juga dibentuk daerah-darah istimewa/ otonom yang terdiri
atas: Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan
Tengah, Bangka, Kalimantan Tenggara, Bangka Belitung, Riau, dan Jawa Tengah.
Pembentukan negara-negara boneka ini menunjukkan betapa besar keinginan Belanda
untuk mendominasi di dalam RIS yang rencananya akan dibentuk kemudian.
2. Keberadaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada Waktu Agresi Militer Belanda Pertama
Persetujuan
Linggajati yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 antara
Indonesia-Belanda sebagai upaya mengatasi konflik melalui jalur diplomasi. Akan
tetapi, Belanda mengingkari perundingan ini dengan jalan melakukan agresi
militer pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Tujuan Belanda tidak dapat
melakukannya sekaligus, oleh karena itu untuk tahap pertama Belanda harus
mencapai sasaran sebagai berikut.
- Bidang
Politik : Pengepungan ibu kota RI dan penghapusan RI dari peta
(menghilangkan de facto RI).
- Bidang
Ekonomi: perebutan daerahdaerah penghasil bahan makanan (daerah beras di Jawa
Barat dan Jawa Timur) dan bahan ekspor (perkebunan di Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Sumatera serta pertambangan dan perkebunan di Sumatera)
- Bidang
Militer: Penghancuran TNI.Jika tahap pertama ini dapat berhasil maka tahap
berikutnya adalah meng-hancurkan RI secara total. Ibu kota RI pada waktu itu terkepung
sehingga hubungan ke luar sulit dan ekonomi RI mengalami kesulitan karena
daerah-daerah penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. Akan tetapi untuk
menghancurkan TNI mengalami kesulitan sebab TNI menggunakan siasat perang
rakyat semesta dengan bergerilya dan bertahan di desa-desa. Dengan demikian
Belanda hanya menguasai dan bergerak di kota- besar dan jalan-jalan raya,
sedangkan di luar itu masih dikuasai TNI
Dalam
Agresi Militer pertama ini walaupun Belanda berhasil menduduki beberapa daerah
kekuasaan RI akan tetapi secara politis Republik Indonesia naik kedudukannya di
mata dunia. Negara-negara lain merasa simpati seperti Liga Arab yang sejak 18
November 1946 mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Arab Saudi yang semula
ragu-ragu mengakui kemerdekaan Indonesia kemudian mengakui pula. Agresi militer
Belanda terhadap Indonesia mengakibatkan permusuhan negara-negara Arab terhadap
Belanda dan menjadi simpati terhadap Indonesia. Dengan demikian dapat
menguatkan kedudukan RI terutama di kawasan penting secara politik yaitu Timur
Tengah.
Dengan
adanya agresi militer pertama maka Dewan Keamanan PBB ikut campur tangan dengan
membentuk Komisi Tiga Negara. Melalui serangkaian perundingan yakni Perundingan
Renville dan Perundingan Kaliurang merupakan upaya untuk mengatasi konflik.
Sebagai negara yang cinta damai Indonesia bersedia berunding, namun Belanda
menjawab lagi dengan kekerasan yakni melakukan agresinya yang kedua.
3. Keberadaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pada Waktu Agresi Militer Belanda kedua
Pada
tanggal 18 Desember 1948, pukul 23.30, Dr. Beel mengumumkan sudah tidak terikat
lagi dengan Perundingan Renville. Pada tanggal 19 Desember 1948, pukul 06.00,
Belanda melancarkan agresinya yang kedua dengan menggempur ibu kota RI,
Yogyakarta. Dalam peristiwa ini pimpinan- pimpinan RI ditawan oleh Belanda.
Mereka adalah Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Syahrir (Penasihat
Presiden) dan sejumlah menteri termasuk Menteri Luar Negeri Agus Salim.
Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat di tepi Danau Toba dan Wakil Presiden
Moh. Hatta ke Bangka. Presiden Soekarno kemudian dipindahkan ke Bangka. Dengan
ditawannya pimpinan-pimpinan negara RI dan jatuhnya Yogyakarta, Dr. Beel
menyatakan bahwa Republik Indonesia tidak ada lagi. Belanda mengirabahwa dari
segi militer aksi itu berhasil dengan gemilang. Belanda menyatakan demikian
karena akan membentuk Pemerintah Federal. Sementara tanpa keikutsertaan
Republik Indonesia. Padahal Republik Indonesia tetap ada dengan dibentuknya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Sebab sebelum pasukan pasukan Belanda
tiba, pemerintah RI mengirimkan telegram kepada Syafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran yang sedang berkunjung ke Sumatera untuk mendirikan
Pemerintah Darurat RI (PDRI). Seandainya Syafruddin tidak dapat menjalankan
tugas, maka Presiden Soekarno menugaskan kepada Dr. Sudarsono,L.N. Palar, dan
Mr. A.A. Maramis yang sedang di New Delhi untuk membentuk Pemerintah Pelarian (Exile
Government) di India. Pada tanggal 19 Desember 1948 Syafruddin
Prawiranegara berhasil mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
di Bukittinggi, Sumatera. Sementara itu sampai dengan Januari 1949, Belanda
menambah pasukannya ke daerah RI untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa. Akan
tetapi kenyataannya Belanda hanya menguasai di kota-kota dan jalan raya dan
Pemerintahan RI masih berlangsung sampai di desa-desa. Rakyat dan TNI bersatu
berjuang melawan Belanda dengan siasat perang gerilya. TNI di bawah pimpinan
Jenderal Sudirman menyusun kekuatan yang kemudian melancarkan serangan terhadap
Belanda. Alat-alat perhubungan seperti kawat-kawat telepon diputuskan,
jalan-jalan kereta api di rusak, jembatan: dihancurkan agar tidak dapat
digunakan Belanda. Jenderal Sudirman walaupun dalam keadaan sakit masih
memimpin perjuangan dengan bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan
menjelajahi daerah-daerah pedesaan, naik gunung turun gunung. Route perjalanan
yang ditempuh dari Yogyakarta, Surakarta, Madiun, dan Kediri. Perhatikan route
gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman berikut ini!
Pada
tanggal 23 Desember 1948 Pemerintah Darurat RI di Sumatera mengirimkan perintah
Kepada wakil RI di PBB lewat radio yang isinya bahwa pemerintah RI bersedia
memerintahkan penghentian tembak menembak dan memasuki meja perundingan. Ketika
Belanda tidak mengindahkan Resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949
tentang penghentian tembak menembak dan mereka yakin bahwa R1 tinggal namanya,
dilancarkanlah Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai bukti bahwa RI masih ada dan
TNI masih kuat. Dalam serangan ini pihak RI berhasil memukul mundur kedudukan
Belanda di Yogyakarta selama 6 jam. Dengan kenyataan-kenyataan di atas
membuktikan bahwa pada waktu konflik Indonesia-Belanda maka Negara Kesatuan RI
tetap ada walaupun pihak Belanda menganggap RI sudah tidak ada.
D. Aktifitas
Diplomasi di Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan
Salah
satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah
perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda
ingin menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia temyata selalu mendapat
perlawanan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha
mempertemukan antara pemimpin Indonesia dengan Belanda melalui
perundingan-perundingan sebagai berikut :
1. Pertemuan
Soekarno-Van Mook
Pertemuan
antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh
Panglima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober
1945. Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad
Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van
Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi
kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan
kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan
hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook
mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa
Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran
berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan
Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan
memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tindakan
Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama
oleh Parlemen, bahkan Van
Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur JenderalHindia Belanda
(Indonesia).
2. Pertemuan
Sjahrir-Van Mook
Pertemuan
ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 1945 bertempat di
Markas Besar Tentara
Inggris di Jakarta ( Jalan Imam Bonjol No.1). Dalam pertemuan ini pihak Sekutu
diwakili olehLetnan Jenderal Christison, pihak Belanda oleh Dr. H.J. Van Mook,
sedangkan delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan
Sjahrir. Sebagai pemrakarsa pertemuan ini,Christison bermaksud mempertemukan
pihak Indonesia dan Belanda di samping menjelaskan maksud kedatangan
tentaraSekutu, akan tetapi pertemuan ini tidak membawa hasil.
Pertemuan-pertemuan yang diprakarsai oleh Letnan Jenderal Christison selalu
mengalami kegagalan.
Akan
tetapi pemerintah Inggris terus berupaya mempertemukan Indonesia dengan Belanda
bahkan ditingkatkan menjadi perundingan. Untuk mempertemukan kembali pihak
Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah
Inggris mengirimkan
seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah.
Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Pada waktu
itu Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain
sebagai berikut.
(1) Indonesia akan dijadikan
negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan
sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda.
(2) Urusan dalam negeri
dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.
Selanjutnya
pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara
lain sebagai berikut.
(1) Republik Indonesia harus
diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.
(2) Federasi
Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri
dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas
orang-orang Indonesia dan Belanda. Usul dari pihak Indonesia di atas tidak
diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan
untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja
sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
Pada
tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara
lain sebagai berikut.
(1) Supaya pemerintah Belanda
mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera.
(2) Supaya RI dan Belanda
bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
(3) RIS bersama-sama dengan
Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda.
3. Perundingan
di Hooge Veluwe
Perundingan
ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri
Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah
disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah:/
(1) Mr. Suwandi, dr.
Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI;
(2) Dr. Van Mook, Prof.
Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan
Surio Santosa yang mewakili Belanda, dan
(3) Sir Archibald Clark
Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah.
Perundingan
yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda
tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa
dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
4. Perundingan
Linggajati
Walaupun
Perundingan Hooge Veluwe mengalami kegagalan akan
tetapi prinsipnya bentuk-bentuk kompromi antara Indonesia dan
Belanda sudah diterima dan dunia memandang bahwa bentuk-bentuk tersebut sudah
pantas. Oleh karena itu pemerintah Inggris masih memiliki perhatian besar
terhadap penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda dengan mengirim Lord
Killearn sebagai pengganti Prof Schermerhorn. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord
Killearn berhasil mempertemukan wakilwakilpemerintah Indonesia dan Belanda ke
meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di
Jakarta. Dalam perundingan ini masalahgencatan senjata yang tidak mencapai
kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord
Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
(1) Gencatan senjata diadakan
atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer
Sekutu serta Indonesia.
(2) Dibentuk sebuah Komisi
bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan
senjata.
Dalam
mencapai kesepakatan di bidang politik antara Indonesia dengan Belanda
diadakanlah Perundingan Linggajati. Perundingan ini diadakan sejak tanggal 10
November 1946 di Linggajati, sebelah selatan Cirebon. Delegasi Belanda dipimpin
oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya Max Van Poll, F. de Baer dan H.J. Van
Mook. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir, dengan
anggotaanggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Sjarifoeddin, Mr. Soesanto
Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani, dan Mr. Ali Boediardjo. Sedangkan sebagai
penengahnya adalah Lord Killearn, komisaris istimewa Inggris untuk Asia
Tenggara. Hasil Perundingan Linggajati ditandatangani pada tanggal 25 Maret
1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah
sebagai berikut.
(1) Belanda
mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus sudah meninggalkan
daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
(2) Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara
bagiannya adalah Republik Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan
Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya. Meskipun isi perundingan Linggajati masih terdapat
perbedaan penafsiran antara Indonesia dengan Belanda, akan tetapi kedudukan
Republik Indonesia di mata Internasional kuat karena Inggris dan Amerika
memberikan pengakuan secara de facto.
5. Perundingan
Renville
Perbedaan
penafsiran mengenai isi Perundingan Linggajati semakin memuncak dan akhirnya
Belanda melakukan Agresi Militer pertama terhadap Indonesia pada tanggal 21
Juli 1947. Atas prakasa Komisi Tiga Negara (KTN), maka berhasil dipertemukan
antara pihak Indonesia dengan Belanda dalam sebuah perundingan.Perundingan ini
dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville” yang sedang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Perundingan
Renville ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di mana pihak Indonesia
mengirimkan delegasi yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan pihak
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang
memihak Belanda. Hasil perundingan Renville baru ditandatangani pada tanggal 17
Januari 1948 yang intinya sebagai berikut.
(1) Pemerintah RI harus
mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang
ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS).
(2) Akan diadakan pemungutan
suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerah-daerah Jawa, Madura,
dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain
dari Negara Indonesia Serikat.
(3) Tiap negara (bagian)
berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS
atau dengan Nederland. Akibat dari perundingan Renville ini wilayah Republik
Indonesia yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera menjadi lebih sempit lagi.
Akan
tetapi, RI bersedia menandatangani perjanjian ini karena beberapa alasan di
antaranya adalah karena persediaan amunisi perang semakin menipis sehingga
kalau menolak berarti belanda akan menyerang lebih hebat. Di samping itu juga
tidak adanya jaminan bahwa Dewan Keamanan PBB dapat menolong serta RI yakin bahwa
pemungutan suara akan dimenangkan pihak Indonesia.
6. Persetujuan
Roem-Royen
Ketika
Dr. Beel menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia, ia
mempunyai pandangan yang berbeda dengan Van Mook tentang Indonesia. Ia
berpendirian bahwa di Indonesia harus dilaksanakan pemulihan kekuasaan
pemerintah kolonial dengan tindakan militer. Oleh karena itu pada tanggal 18
Desember 1948 Dr. Beel mengumumkan tidak terikat dengan Perundingan Renville
dan dilanjutkan tindakan agresi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember
1948 pada pukul 06.00 pagi dengan menyerang ibu kota Rl yang berkedudukan di
Yogyakarta. Dengan peristiwa ini Komisi Tiga Negara (KTN) diubah namanya
menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations
Commission for Indonesian atau UNCI). Komisi ini bertugas membantu
melancarkan perundinganperundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada
tanggal 7 Mei 1949 Mr. Moh. Roem selaku ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van
Royen selaku ketua delegasi Belanda yang masing-masing membuat pernyataan
sebagai berikut.
(1) Pernyataan Mr. Moh Roem.
a. Mengeluarkan
perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata”untuk menghentikan perang
gerilya
b. Bekerja
sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
c. Turut
serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat
“penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara
Indonesia Serikat, dengan tidak bersyarat.
(2) Pernyataan Dr. Van Royen
a. Menyetujui
kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b. Menjamin
penghentian gerakan-gerakan militer dan pembebasan semua tahanan politik.
c. Tidak
akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang berada di daerahdaerah yang
dikuasai RI sebelum tanggal 19 Desember 1948 dan tidak akan meluaskan negara
atau daerah dengan merugikan Republik
d. Menyetujui
adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
e. Berusaha
dengan sungguh-sungguh agar Konferensi Meja Bundar segera diadakan setelah
Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.
7. Konferensi
Meja Bundar (KMB)
Salah
satu pernyataan Roem-Royen adalah segera diadakan Konferensi Meja
Bundar (KMB). Sebelum
dilaksanakan KMB diadakanlah Konferensi
Inter Indonesia antara wakil-wakil Republik
Indonesia dengan BFO (Bijjenkomst voor Federaal Overleg) atau
Pertemuan Permusyawarahan Federal. Konferensi ini berlangsung dua kali yakni
tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan pada tanggal 31 Juli - 2 Agustus
1949 di Jakarta. Salah satu keputusan penting dalam konferensi ini ialah bahwa
BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa
ikatan ikatan politik ataupun ekonomi.
Pada
tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar di
Den Haag (Belanda). Sebagai ketua KMB adalah Perdana Menteri Belanda, Willem
Drees. Delegasi RI dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta, BFO
di bawah pimpinan Sultan
Hamid II dari Pontianak, dan delegasi Be1anda dipimpin Van Maarseveen sedangkan
dari UNCI sebagai mediator dipimpin oleh
Chritchley. Pada tanggal
2 November 1949 berhasil ditandatangani persetujuan KMB. Isi dari persetujuan
KMB adalah sebagai berikut.
1. Belanda
mengakui kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember
1949.
2. Mengenai
Irian Barat penyelesaiannya ditunda satu tahun setelah pengakuan kedaulatan.
3. Antara
RIS dan kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang akan
diketuai Ratu Belanda.
4. Segera
akan dilakukan penarikan mundur seluruh tentara Belanda.
5. Pembentukan
Angkatan Perang RIS (APRIS) dengan TNI sebagai intinya.
Dari
hasil KMB itu dinyatakan bahwa pada akhir bulan Desember 1949 Indonesia diakui
kedaulatannya oleh Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 27 Desember 1949
diadakanlah penandatanganan pengakuan kedaulatan di negeri Belanda. Pihak
Belanda ditandatangani oleh Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr. Willem
Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. AM . J.A Sassen. Sedangkan delegasi
Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Wakil Tertinggi Mahkota AH.J. Lovink
menandatangani naskah pengakuan kedaulatan Dengan diakuinya kedaulatan RI oleh
Belanda ini maka Indonesia berubah bentuk negaranya berubah menjadi negara
serikat yakni Republik Indonesia Serikat (RI).
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulgani,
Roeslan, DR. H., 1977. Sejarah, Cita- cita dan Pengaruhnya : konferensi
asia-qfrika Bandung, Jakarta: Idayu Press
Audrey
R. Kahin. 1985. Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. Jakarta:
PT
Pustaka Utama Grafiti
J.S.
Reid, Anthony, 1996. Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan
Mizwar
Djamali, dkk. 1985. Mengenal PBB dan 170 Negara di Dunia.
Jakarta: PT Kreasi Jaya Utama.
Moedjanto,
G. 1988. Indonesia Abad ke-20. 1: Dari Kebangkitan Nasional
sampai Linggajati. Yogyakarta: Kanisius.
Moedjanto,
G., M. A., 1992. Indonesia Abad ke- 20 Jilid 2 : Dari Perang Kemerdekaan
pertama sampai P ELIT A III, Yogyakarta : Kanisius
Onghoham.
1987. Runtuhnya Hindia Belanda. PT. Gramedia. Jakarta.
Penerbit PT. Gramedia
Poesponegoro,
Djoened, Marwati : Nugroho, 1993. Sejarah Nasional Indonesia
VI, Jakarta: Balai Pustaka
Ricklefs,
M.C., A History of Modern Indonesia, 1998. terj. Dharmono
Hardjowidjono, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Tjondronegoro,
Purnawan. 1980. Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku.
Jakarta: Nugraha
Wild,
Colin., Peter Carey. 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah
Sumber: http://twentynov.blogspot.com/2014/09/perjuangan-mempertahankan-integritas.html
No comments:
Post a Comment