Monday, August 16, 2021

BERSUCI DARI NAJIS DAN HADATS


 1.      Pengertian Najis dan Hadats

Menurut bahasa Najis berasal dari bahasa Arab, yaitu an-najsu  اَلنَّجْسُatau an-najisu  اَلنَّجِسُ yang berarti kotor atau menjijikkan, tidak bersih atau tidak suci baik yang bersifat hissiyah maupun ma’nawiyah.  Najis yang bersifat hissiyah adalah najis yang terlihat oleh mata dan dirasa oleh panca indra seperti jilatan anjing, kotoran manusia atau hewan, kencing, darah haid dan nifas. Najis yang bersifat maknawiyah adalah najis yang menodai akidah sehingga tidak dapat dilihat oleh manusia seperti Syirik dan kufur.

Menurut istilah, najis bisa diartikan suatu benda yang mengotori pakaian atau badan kita yang menghalangi sahnya ibadah kita kepada Allah. Najis adalah kotoran yang wajib oleh seorang yang terkena olehnya. Menurut Ilmu fiqih merupakan benda yang haram disentuh secara mutlak (kecuali dalam keadaan darurat) dan harus dibersihkan apabila terkena benda najis. Najis harus dibersihkan karena menghalangi sahnya ibadah.

2.      Dasar-Dasar Hukum Perintah Bersuci

Ayo kita cermati dengan seksama, dan temukan persamaan dan berbedaan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis dibawah ini:

a)  Allah Swt.  berfirman:

Artinya:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

”Dan bersihkanlah pakaianmu” QS. Al-Mudatstsir (74): 4.

b)  Dan Firman Allah Swt. :

اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ 

Artinya: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!”QS. Al-Baqarah (2): 125.

c)  Nabi Muhammad Saw bersabda:

 Artinya: “Apabila kamu datang ke tempat saudara-saudara kamu, hendaklah kamu perintah atau perbaiki kendaraan-kendaraan dan pakaian kamu, sehingga kamu menjadi perhatian diantara manusia. Karena, Allah tidak suka perbuatan keji dan juga keadaan yang tidak teratur“ (HR. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam Al-Hakim, AlBaihaqi dari Sahal bin Hanzaliyah).


Hadats

Hadas adalah keadaan pada diri seseorang yang dianggap bernajis, seperti haid, nifas dan lainnya, sehingga menyebabkan seseorang tidak dibenarkan untuk melakukan shalat. Atau dengan ungkapan lain, Hadas adalah keadaan yang menyebabkan seorang menjadi tidak suci.

Macam-Macam Hadas

1.   Hadas Kecil

Hadas kecil adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam keadaan berwudhu'. Entah memang karena asalnya belum berwudhu' ataupun sudah berwudhu' tetapi sudah batal lantaran melakukan hal-hal tertentu. Misalnya, seorang yang tertidur pulas secara hukum telah batal wudhu'-nya, namun secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya.

Dalam hal ini dikatakan bahwa orang itu berhadats kecil. Dan untuk mensucikannya dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu' atau bertayammum bila tidak ada air.

 

Penyebab Hadas Kecil

Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal, diantaranya adalah:

·         keluarnya sesuatu lewat lubang kemaluan

·         Tidur

·         hilang akal

·         menyentuh kemaluan

·         dan menyentuh kulit lawan jenis.

Hal-hal yang membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu' ada beberapa hal. Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau perbedaan pendapat.

1.       Keluar Sesuatu Lewat Kemaluan

Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya. Pendeknya apapun juga benda gas seperti kentut.

Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan dubur membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

 

 أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ

 

“Atau bila salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air." (QS. Al-Maidah : 6), Juga berdasarkan hadits nabawi :

 

 إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya”. (HR. Muslim)

2.       Tidur

Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW

 

 مَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأ -رواه أبو داود وابن ماجة.

 

“Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu' sebagaimana hadits berikut :

 

 عَنْ أَنَسٍ رَضي الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهsيَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّؤُنَ - رواه مسلم - وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ

 

Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim) - Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa Rasulullah SAW.

3.       Hilang Akal

Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu' nya batal. Demikian juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu'nya. Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu'nya batal. Kalau mau shalat harus mengulangi wudhu'nya.

4.       Menyentuh Kemaluan

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

 

 مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ - رواه أحمد والترمذي

 

“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu.” (HR. Ahmad dan At-Tirmizy)

Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun kemaluan orang lain. Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu. Namun para ulama mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.

5.       Menyentuh Kulit Lawan Jenis. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.

Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang demikian. Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :

 

 أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا

 

“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik.” (QS. An-Nisa : 43)

Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’. Ulama kalangan As-Syafi’iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu’. Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan. Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah dalam masalah mencium. Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja menyentuh maka tidak batal wudhu’nya. Juga ada pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’. Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari kalangan shahabat.

Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah) maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’. Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi. Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).

Larangan Saat Berhadats Kecil

Ada beberapa larangan bagi mereka yang sedang dalam keadaan hadats kecil, di antaranya melakukan shalat, menyentuh mushaf, thawaf di seputar Ka'bah dan juga khutbah Jumat.

1.       Melakukan Shalat

Untuk melakukan shalat diwajibkan berwudhu' baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah. Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Karim berikut ini :

 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين

 

“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS. Al-Maidah : 6).

Juga hadits Rasulullah SAW berikut ini : Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahw Nabi SAW bersabda "Tidak ada shalat kecuali dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu' bagi yang tidak menyebut nama Allah." (HR. Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah).

Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu’) (HR. Bukhari dan Muslim).

2.       Menyentuh Mushaf

Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan menyentuh mushaf Al-Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam kata lain bila tidak punya wudhu'. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa haram bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil untuk menyentuh mushaf meski pun dengan alas atau batang lidi. Sedangkan Al-Hanafiyah meski mengharamkan sentuhan langsung namun bila dengan menggunakan alas atau batang lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.

 لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المـُطهَّرُون

“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah : 79)

Serta hadits Rasulullah SAW berikut ini :

Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : "Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).

Keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats kecil ini sudah menjadi ijma' para ulama yang didukung 4 mazhab utama. Sedangkan pendapat yang mengatakan tidak haram yaitu pendapat mazhab Daud Ad-Dzahiri. Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak diharamkan. Pendapat senada datang dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

3.       Thawaf di Seputar Ka’bah

Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu’ untuk thawaf di ka’bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal itu didasari oleh hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda’Thawaf di Ka’bah itu adalah shalat kecuali Allah telah membolehkannya untuk berbicara saat thawaf. Siapa yang mau bicara saat thawaf maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban Al-Hakim dan Tirmizy)

4.       Khutbah Jumat

Dalam pandangan Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, menyampaikan Khutbah Jumat juga disyaratkan dalam keadaan suci dari hadats kecil. Karena kedudukan Khutbah Jumat merupakan bagian dari Shalat Jumat. Berthaharah dari Hadats Kecil Bertaharah dari hadats kecil dilakukan dengan dua cara, yaitu wudhu dan tayammum. Namun tayammum hanya dibolehkan manakala semua syarat wudhu sudah tidak ada lagi. Dan tayammum sebenarnya bukan hanya mengangkat hadats kecil saja tetapi juga termasuk hadats besar.

2.   Hadas Besar

Hadas besar adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang dalam keadaan janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak berbentuk fisik. Maka janabah tidak identik dengan kotor.

Ada beberapa penyebab kenapa seseorang menyandang status sedang janabah, diantaranya adalah keluar mani. Dalam hal ini. orang yang mengalami keluar mani, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, meski dia telah mencuci maninya dengan bersih lalu mengganti bajunya dengan yang baru dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah. Penyebab Hadats Besar Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain adalah keluar mani, bertemunya dua kemaluan, meninggal dunia, mendapat haidh, nifas dan melahirkan bayi. Ketiga penyebab pertama itu bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, sedangkan tiga penyebab yang terakhir hanya terjadi pada diri perempuan. Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan. Beberapa penyebab hadas besar diantaranya:

1.       Keluar Mani

Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini : Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Sesungguhnya air itu (kewajiban mandi) dari sebab air (keluarnya sperma)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di antara para fuqaha'. Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah. Sedangkan mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah. Sedangkan air mani laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi : Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti). Dan seperti telur bila telah mengering. Keluarnya dengan cara memancar sebagaimana firman Allah SWT :

 

 من ماء دافق

 

Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat jadi mereda. Mani Wanita

 

 عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

 

Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu Sulaim istri Abu Thalhah bertanya :"Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW menjawab :"Ya bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami keluar mani bukan hanya laki-laki.

2.       Bertemunya Dua Kemaluan

Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama membuat batasan : dengan lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik faraj hewan. Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan perilaku itu. Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di luar masalah larangan perilaku itu. Semua yang disebutkan di atas termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi. Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Bila seseorang duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka sudah wajib mandi." (HR. Muttafaqun 'alaihi).

Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun tidak keluar mani"

3.       Meninggal Seseorang yang meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram tertimpa kematian :

 اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

Rasulullah SAW bersabda :"Mandikanlah dengan air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)

4.       Haidh

Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :

 

 وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

 

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah : 222)

Nabi SAW bersabda:

Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)

5.       Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi janabah. Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh. Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk masjid membaca Al-Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.

6.       Melahirkan

Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah lantaran persalinan yang dialaminya. Sebagian ulama mengatakan bahwa illat atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan itu pada hakikatnya adalah mani juga meski sudah berubah wujud menjadi manusia. Dengan dasar itu maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun tetap diwajibkan mandi lantaran janin itu pun asalnya dari mani.

 

Larangan Saat Berhadas Besar

Adapun apa saja yang dilarang untuk dikerjakan ketika seseorang berhadats besar, antara lain adalah shalat, sujud tilawah, thawaf, memegang atau menyentuh mushaf Al-Quran, melafazkannya, serta masuk ke dalam masjid dan berdiam di dalamnya.

1.       Shalat

Dasar keharaman shalat dalam keadaan hadats besar adalah hadits berikut ini :

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Tidak diterima shalat yang tidak dengan kesucian". (HR. Muslim).

2.       Sujud Tilawah

Sujud tilawah adalah sujud yang disunnahkan pada saat kita membaca ayat-ayat tilawah, khususnya sujud yang dilakukan di dalam shalat. Mengigat bahwa syarat dari sujud tilawah adalah suci dari hadats kecil dan besar. Sehingga orang yang dalam keadaan janabah haram hukumnya melakukan sujud tilawah.

3.       Thawaf

Thawaf di Baitullah Al-Haram senilai dengan shalat, sehingga kalau shalat itu terlarang bagi orang yang janabah, otomatis demikian juga hukumnya buat thawaf. Dasar persamaan nilai shalat dengan thawaf adalah sabda Rasulullah SAW :

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Thawaf di Baitullah adalah shalat kecuali Allah membolehkan di dalamnya berbicara." (HR. Tirmizy Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menshahihkannya). Dengan hadits ini mayoritas (jumhur) ulama sepakat untuk mengharamkan thawaf di seputar ka'bah bagi orang yang janabah sampai dia suci dari hadatsnya. Kecuali ada satu pendapat menyendiri dari madzhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa suci dari hadats besar bukan syarat sah thawaf melainkan hanya wajib. Sehingga dalam pandangan yang menyendiri ini, seorang yang thawaf dalam keadaan janabah tetap dibenarkan, namun dia wajib membayar dam berupa menyembelih seekor kambing.

Pendapat ini didasarkan pada fatwa Ibnu Abbas ra. yang menyebutkan bahwa menyembelih kambing wajib bagi seorang yang melakukan ibadah haji dalam dua masalah : Bila thawaf dalam keadaan janabah Bila melakukan hubungan seksual setelah wuquf di Arafah.

4.       Memegang atau Menyentuh Mushaf Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar, termasuk juga orang yang haidh, dilarang menyentuh mushaf Al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah SWT berikut ini :

 

 لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ المُطَهَّرُون

 

“Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.”  (QS. Al-Waqi’ah :79)

Ditambah dan dikuatkan dengan hadits Rasulullah SAW berikut ini : Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : "Janganlah seseorang menyentuh Al-Quran kecuali dia dalam keadaan suci”.(HR. Malik).

5.       Melafazkan Ayat-ayat Al-Quran

Empat madzhab yang ada yaitu Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah semuanya sepakat bulat mengharamkan orang yang dalam keadaan janabah untuk melafadzkan ayat-ayat Al-Quran. Dari Abdillah Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasululah SAW bersabda :"Wanita yang haidh atau orang yang janabah tidak boleh membaca sepotong ayat Quran." (HR. Tirmizy) Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata: "Bahwa Rasulullah SAW tidak terhalang dari membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub." (HR. Ahmad).

Larangan ini dengan pengecualian kecuali bila lafadz Al-Quran itu hanya disuarakan di dalam hati. Juga bila lafadz itu pada hakikatnya hanyalah doa atau zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran secara tidak langsung (iqtibas). Namun ada pula pendapat yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik. Diriwayatkan bawa Ibnu Abbas radhiyalahu anhu dan Said ibnul Musayyib termasuk pihak yang membolehkan wanita haidh melafadzkan ayat-ayat bahkan keseluruhan Al-Quran.

6.       Masuk ke Masjid

Seorang yang dalam keadaan janabah oleh Al-Quran Al-Karim secara tegas dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas saja.

 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ

 

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa' : 43).

Selain Al-Quran Sunnah Nabawiyah juga mengharamkan hal itu : Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Bukhari Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah) Berthaharah dari Hadats Besar Untuk mengangkat atau menghilangkan hadats besar, ritual yang harus dijalankan adalah mandi janabah. Penulis membuat bab tersendiri untuk membahas mandi janabah. Dan dalam kondisi tidak ada air, mandi janabah bisa digantikan dengan tayammum yang sesungguhnya bukan hanya berfungsi sebagai pengganti wudhu, tetapi juga berfungsi sebagai pengganti dari mandi janabah. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak perlu bergulingan di atas tanah. Cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil dan hadats besar. Namun karena sifatnya yang sebagai pengganti sementara, maka bagi orang yang bersuci dari hadats besar dengan tayammum, tiap kali mengerjakan shalat, thawaf, i'tikaf dan lainnya, wajiblah atasnya untuk bertayammum lagi. Mengingat sifatnya yang hanya mengangkat hadats besar sementara.



Adab-adab dan Hukum Istinja/Bersuci dari Buang Hajat

Hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang hendak ke tempat buang hajat:

1.       Menggunakan sandal atau alas kaki lainnya, kecuali jika terdapat udzur (seperti sakit atau yang lainnya). Tujuannya adalah agar kaki terjaga dari kotoran dan air.

2.       Menutup kepalanya. Hal ini berdasarkan hadits yang mursal dari Habib bin Shalih rahimahullaahu taálaa, bahwasannya beliau berkata,

 

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ لَبِسَ خِذَاءَهُ وَغَطَّى رَأْسَهُ

“Dahulu Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam memakai sandalnya dan menutup kepalanya jika masuk ke tempat buang hajat.” (HR. Al Baihaqi 96/1).

Selain itu, terdapat pula riwayat shahih dari Abu Bakar As Shiddiq bahwasannya beliau menutup kepala tatkala beliau membuang hajat.

3.       Menjauhkan sesuatu yang di dalamnya terdapat penyebutan nama Allah dan Rasul-Nya, dan nama-nama yang diagungkan (seperti nama-nama Allah, nabi atau malaikat). Sehingga, jika seseorang masuk membawa cincin yang bertuliskan tulisan-tulisan tersebut (dan tidak bisa dilepas sebelum masuk), maka telapak tangannya digabungkan agar tulisan tersebut tertutup. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas radhiyallaahu ánhu,

 

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ

 

“Dahulu Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam melepas cincinnya jika hendak masuk tempat buang hajat.” (HR. Abu Dawud 19, At Tirmidzi 1746 dan beliau berkata : hasan shahih).

Beliau shallallaahu álaihi wa sallam melepas cincinnya karena terdapat tulisan Muhammad adalah rasulullaah, sebagaimana dalam hadits dari Anas radhiyallaahu ánhu berikut.

 

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ ، ثَلَاثَة أَسْطُرٍ

“(Tulisan) Muhammad adalah Rasulullaah, sebanyak tiga baris.” (HR. Al Bukhari 5878 dan Muslim 2092).

4.       Menyiapkan batu-batu untuk istinja (bersuci dari buang hajat) sebelum buang hajat, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu ánhaa,

 

إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ

 

“Jika salah seorang dari kalian hendak buang hajat, hendaknya dia membawa tiga batu untuk bersuci dari buang hajat, karena hal tersebut sudah mencukupi.” (HR. Abu Dawud 40)

5.       Sebelum masuk tempat buang hajat membaca basmalah dan doa berikut, sebagaimana riwayat dari Anas radhiyallaahu ánhu,

 

بِسْمِ اللهِ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ

“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR Al Bukhari 142 dan Muslim 375 dari Anas radhiyallaahu ánhu tanpa penyebutan basmalah).

6.       Membaca bacaan berikut tatkala keluar dari tempat buang hajat,

غُفْرَانَكَ

“(Ya Allah aku memohon) ampunan-Mu.” (HR. Abu Dawud 30 dan At Tirmidzi)

 

الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ اَذْهَبَ عَنِّى اْلاَذَى وَعَافَانِي

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dari diriku dan menjagaku.” (HR. Ibnu Majah 300 dan 301 dari Anas radhiyallaahu ánhu).

7.       Mendahulukan kaki kiri ketika masuk tempat buang hajat,

8.       Mendahulukan kaki kanan ketika keluar dari tempat buang hajat. Berbeda dengan sunnah masuk masjid, yakni mendahulukan kaki kanan ketika masuk dan mendahulukan kaki kiri ketika keluar, dalam rangka memuliakan masjid.

Penyebutan dzikir ketika masuk tempat buang hajat dan ketika keluarnya, mendahulukan kaki kiri ketika masuk dan kaki kanan ketika keluar, serta menjauhkan penyebutan nama Allah dan Rasul-nya, tidak hanya dikhususkan pada tempat buang hajat di dalam bangunan. Akan tetapi, disyariatkan juga untuk tempat yang lapang/kosong. Pada asalnya tempat yang lapang adalah bukan tempat setan, karena bukan tempat buang hajat. Namun, dengan meniatkan untuk buang hajat di tempat tersebut, maka menjadi tempat setan, sehingga disyariatkan hal-hal tersebut.

9.       Tidak mengangkat bajunya, hingga sampai mendekat ke tanah, dalam rangka untuk menutup aurat semaksimal mungkin. Berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallaahu ánhumaa,

 

أَنَّ النَبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ – حِينَ رَآهُ مِنْ فَوقِ سَطْحِ بَيْتِ حَفْصَةَ – حَتَّى دَنَا مِنَ الأَرْضِ

“Bahwasannya Nabi shallallaahu álaihi wa sallam tidak mengangkat baju beliau – tatkala Ibnu Umar melihat beliau dari atas atap rumah Hafshah – hingga beliau mendekat ke tanah.” (HR. Abu Dawud 14)

10.   Menjulurkan bajunya sebelum berdiri setelah selesai buang hajat, dalam rangka semaksimal mungkin untuk menutup aurat.

11.   Bertumpu pada kaki kiri saat buang hajat, dan menegakkan kaki kanannya. Ini adalah posisi untuk memudahkan keluarnya kotoran. Hal ini berdasarkan keterangan dari Suraqah bin Malik radhiyallaahu ánhu,

 

عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ أَحَدُنَا الخَلَاءَ ، أَنْ يَعْتَمِدَ اليُسْرَى وَيَنْصُبَ اليُمْنَى

“Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam mengajari kami untuk bertumpu pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, jika salah seorang dari kami hendak buang hajat.”(HR. Al Baihaqi 96/1. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At Talkhis (118/1): At Thabrani dan Al Baihaqi meriwayatkan hadits tersebut. Dan beliau menukil perkataan Al Hazimi: Kami tidak mengetahui dalam masalah ini selain hadits tersebut, dan di dalam sanadnya terdapat perawi yang kami tidak ketahui).

12.   Tidak memperpanjang/berlama-lama saat buang hajat. Hal ini bisa memberikan madharat bagi hati atau menyebabkan penyakit bawasir.

13.   Tidak berbicara/berbincang-bincang saat buang hajat, kecuali karena darurat seperti meminta air untuk bersuci. Hal ini berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallaahu ánhumaa,

 

أَنَّ رَجُلًا مَرَّ رَسُولَ اللهِ يَبُولُ ، فَسَلَّمَ عَلَيهِ … فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيهِ

 

“Ada seorang laki-laki yang melewati Rasulullaah dan mengucapkan salam kepada beliau, ketika beliau sedang buang air kecil, maka beliau tidak membalas salam laki-laki tersebut.” (HR. Muslim 380).

Selain itu, terdapat hadits dari Abu Said radhiyallaahu ánhu,

 

لَا يَخْرُجُ الرَجُلَانِ يَضْرِبَانِ الغَائِطَ كَاشِفَينِ عَنْ عَورَتِهِمَا يَتَحَدَّثَانِ فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَمْقُتُ عَلَى ذَلِكَ

“Tidaklah pergi dua orang untuk membuang hajat, dalam keadaan tersingkap aurat keduanya dan saling bercakap-cakap, maka sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Taáalaa akan murka akan hal tersebut.” (HR. Abu Dawud 15 dan Al Hakim 157/1, dan dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi).

14.   Jika buang air kecil sudah berhenti, hendaknya mengusap dengan menggunakan tangan kirinya mulai dari bagian duburnya (pangkal kemaluan) hingga kepala dzakarnya. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan apa yang tersisa di saluran kencing.

15.   Kemudian mengurut bagian tadi, dengan lemah lembut sebanyak tiga kali untuk menyempurnakan istibra (keluarnya semua air kencing). Hal ini tidak boleh berlebih-lebihan karena bisa menimbulkan was-was. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ánhumaa,

 

إنَّهُما ليُعذبانِ ، وما يُعذبانِ في كبيرٍ : كان أحدُهما لا يستبرئ من البولِ

 

“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diadzab oleh Allah. Dan tidaklah keduanya diazab karena perkara yang besar (di pandangan manusia). Salah satu dari keduanya dahulu tidak istibra (menyempurnakan keluarnya air kecing) saat buang air kecil.” (HR. Al Bukhari 218 dan Muslim 292).

Terdapat pula hadits dari Yazdad Al Yamani radhiyallaahu ánhu,

 

إذا بالَ أحدُكم فلينثُرْ ذَكرَه ثلاثَ نَتَراتٍ

 

“Jika salah seorang dari kalian telah selesai buang air kecil, hendaknya dia mengurut dzakar (kemaluan)-nya tiga kali.” (HR. Ahmad 347/4).

Ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk menyempurnakan istibra, yakni seperti berdehem/batuk, mengubah posisi dari duduk ke berdiri, dan cara-cara lainnya sesuai dengan kondisi masing-masing. Sebagian fuqaha, menganjurkan untuk memerciki bagian dalam untuk menghilangkan was-was, yang mana jika terdapat basah, itu adalah dari air percikan.

16.   Tidak buang air kecil sambil berdiri kecuali karena udzur. Hukum buang air kecil sambil berdiri tanpa udzur adalah makruh. Hal ini berdasarkan keterangan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ánhu,

 

أنَّ النبي صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بالَ قائمًا لعِلَّةٍ بمأبَضِهِ

 

“Sesungguhnya Nabi shallallaahu álaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri karena sakit di sebelah dalam lutut beliau.“ (HR. Al Hakim 182/1 dan Al Baihaqi 101/1). Begitu pula keterangan dari Hudzaifah radhiyallaahu ánhu, beliau berkata

 

أَتَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا، ثُمَّ دَعَا بمَاءٍ فَجِئْتُهُ بمَاءٍ فَتَوَضَّأَ

 

“Nabi shallallaahu álaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, dan beliau buang air kecil sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air, maka aku pun membawakan air kepada beliau, lalu beliau berwudhu.” (HR. Al Bukhari 224 dan Muslim 273).

17.   Tidak beristinja menggunakan air di tempat buang hajatnya jika khawatir terkena percikan (najis), jika memang tempat buang hajatnya adalah biasanya bukan tempat khusus buang hajat. Dianjurkan untuk berpindah ke tempat yang lebih aman dari terkena percikan najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Mughoffal radhiyallaahu ánhu,

 

لا يَبولَنَّ أحدُكم في مُستَحَمِّه ثمَّ يتوضَّأُ فيه؛ فإنَّ عامَّةَ الوَسْوَاسِ منه

 

“Janganlah salah seorang dari kalian berwudhu di tempat mandinya, kemudian berwudhu di situ. Karena sesungguhnya keumuman was-was dari hal tersebut.” (HR. Abu Dawud 27 dan At Tirmidzi 21 dengan sanad yang hasan).

18.   Tidak berpindah dari tempat buang hajatnya jika dia di tempat yang khusus untuk buang hajat (toilet/WC), karena aman dari percikan. Dan tidak disyariatkan untuk pindah jika dia bersuci menggunakan batu, karena aman dari percikan.

19.   Menjauhkan diri tatkala buang hajat di tempat lapang, berdasarkan keterangan dari Al Mughirah radhiyallaahu ánhu,

 

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كانَ إذا ذَهَبَ المذهَبَ أبعدَ

 

“Sesungguhnya dahulu Nabi shallallaahu álaihi wa sallam jika hendak keluar ke suatu tempat untuk buang hajat, beliau menjauh.” (HR. Abu Dawud 1 dan At Tirmidzi 20, dan beliau berkata hasan shahih).

20.   Memasang sutrah (penutup), yang tinggi minimalnya adalah 2/3 (dua per tiga) hasta (jika 1 hasta sekitar 60 cm, sehingga 2/3 hasta adalah sekitar 40 cm), yang jarak maksimal antara sutrah tersebut dengan orang yang buang hajat adalah 3 hasta (tidak boleh lebih dari jarak ini). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ánhu,

 

من أتى الغائطَ فليستترْ

 

“Barangsiapa yang hendak buang hajat, hendaknya dia memasang sutrah (penutup).” (HR. Abu Dawud 35, Ahmad 371/2 dan yang lainnya).

21.   Tidak buang air kecil di lubang-lubang. Hal ini juga berlaku untuk buang air besar. Berdasarkan keterangan dari Abdullah bin Sarjas radhiyallaahu ánhu,

 

أَنَّ النَبِيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ نَهَى عَنِ البَوْلِ في الجُحرِ. قال: قالوا لقتادةَ: ما يُكرَهُ مِنَ البَولِ في الجُحْرِ؟ قال: كان يُقالُ: إنَّها مَساكِنُ الجِنِّ

 

“Sesungguhnya Nabi shallallaahu álaihi wa sallam melarang dari buang air kecil di lubang-lubang.” Beliau berkata, mereka bertanya kepada Qatadah, “Apa yang membuat buang air kecil di lubang itu dibenci?” Qatadah menjawab, “Karena lubang-lubang tersebut adalah tempat tinggal jin.” (HR. Abu Dawud 29, An Nasa-i 34, dan dishahihkan oleh Al Hakim 186/1).

22.   Tidak buang pula buang air kecil di tempat yang keras, dikhawatirkan ada percikan ke badan atau bajunya.

23.   Tidak buang air kecil di tempat berhembusnya angin, karena dikhawatirkan bisa balik ke tubuh/bajunya. Berdasarkan hadits dari Abu Musa Al Ásyári radhiyallaahu ánhu,

 

إذا أراد أحدُكُمْ أن يبولَ فلْيَرْتَدْ لِبَوْلِهِ ، ولا يَستَقبِلِ الرِّيحَ ، فإنها ترد عليه

 

“Jika salah seorang dari kalian hendak buang air kecil, hendaknya menyiapkan tempat (agar air kencingnya tidak terciprat kepadanya). Dan janganlah menghadap ke angin (yang berhembus), karena angin memantulkan kembali (percikan najis) kepadanya.”(HR. Ahmad 399/4 dan Abu Dawud 3, dan di dalamnya terdapat kelemahan).

24.   Tidak buang hajat di tempat aliran/saluran air.

25.   Tidak buang hajat di tempat berbincang-bincang manusia, seperti tempat yang teduh.

26.   Tidak buang hajat di jalan (tempat orang lewat).

27.   Tidak buang hajat di bawah pohon yang memiliki buah, meski belum musim berbuah. Karena nanti dikhawatirkan buah yang jatuh akan terkena najis. Hukumnya makruh jika pohon tersebut milik sendiri. Namun, jika pohon tersebut adalah milik orang lain, maka hukumnya menjadi haram jika tidak diketahui keridhaan orang tersebut. Larangan ini tidak harus berada persis di bawah pohon, akan tetapi berlaku juga di lokasi sekitarnya, dimana ada kemungkinan buah yang jatuh mencapai tempat tersebut. Berdasarkan hadits dari Muádz radhiyallaahu ánhu,

 

اتَّقُوا المَلَاعِنَ الثَلَاثَةَ : البرازَ فِي المَوَارِدِ ، وَقَارعةَ الطَرِيقِ ، وَالظِّلَّ المَمْدُوْدَ

 

“Jauhilah (buang hajat) di tiga tempat yang penuh laknat; buang hajat di tempat sumber air, di tengah jalan, tempat teduh yang terbentang.” (HR. Abu Dawud 26 dan Ibnu Majah 328, dan dishahihkan oleh Al Hakim 126/1).

28.   Tidak buang hajat di sisi/dekat kuburan, karena mayit dan orang yang berziarah akan terganggu.

29.   Tidak buang hajat di air yang menggenang (tidak mengalir), berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ánhu,

 

لا يَبُولَنَّ أحَدُكُمْ في الماءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ منه

 

“Janganlah salah seorang dari kalian buang air kecil di air yang menggenang (tidak mengalir), kemudian mandi dari air tersebut.” (HR. Al Bukhari 239 dan Muslim 282).

30.   Tidak buang hajat di air yang sedikit, tapi mengalir. Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ menghukumi haram tentang hal tersebut, baik kondisinya mengalir ataupun diam, karena merusak/menyia-nyiakan air.

31.   Tidak dalam posisi menghadap matahari dan bulan. Berdasarkan keterangan di Fathul Ilahil Malik Qasim An Nuri (hal. 55), Menurut pendapat mu’tamad, tidak makruh menghadap atau membelakangi matahari dan bulan.

32.   Tidak menghadap Baitul Maqdis dan membelakanginya, kecuali jika di tempat yang dikhususkan untuk buang hajat (toilet/WC), maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallaahu ánhumaa,

 

لَقَدِ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا علَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا، فَرَأَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ علَى لَبِنَتَيْنِ، مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ المَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ

 

“Suatu hari, aku sungguh pernah naik kea tap rumah kami, dan aku melihat Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam di atas dua batu bata sedang membuang hajat dalam keadaan menghadap Baitul Maqdis.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Hal-hal yang diharamkan bagi orang yang buang hajat:

1.       Buang air kecil di makanan, baik makanan untuk manusia atau makanan untuk jin.

2.       Buang air kecil di tulang, baik tulang manusia atau tulang hewan.

3.       Buang air kecil di benda yang diagungkan, seperti nama-nama Allah, nama-nama nabi, nama-nama malaikat, dan segala sesuatu yang dimuliakan sesuai syariat.

4.       Buang air kecil di atas kubur, karena akan menyakiti mayit dan terdapat bentuk penghinaan dan perendahan dan pelecehan.

5.       Buang air kecil di dalam masjid, meskipun ditampung dalam wadah.

6.       Buang hajat (baik buang air besar atau buang air kecil) dalam kondisi menghadap dan membelakangi kiblat di tempat lapang jika tanpa penghalang, berdasarkan keterangan dari Abu Ayyub radhiyallaahu ánhu, bahwasannya Nabi shallallaahu álaihi wa sallam bersabda,

 

إذا أتَيْتُمُ الغائِطَ فلا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، ولا تَسْتَدْبِرُوها ببَوْلٍ ولا غائِطٍ، ولَكِنْ شَرِّقُوا، أوْ غَرِّبُوا

 

“Jika salah seorang dari kalian buang hajat, maka janganlah menghadap atau membelakangi arah kiblat, baik untuk buang air kecil atau buang air besar. Akan tetapi, menghadaplah ke arah timur dan barat (karena arah kiblat kota Madinah adalah selatan-pent.).” (HR. Al Bukhari 394 dan Muslim 264).

Adapun, jika berada di dalam bangunan, maka diperbolehkan untuk menghadap atau membelakangi kiblat, dengan syarat adanya penutup (sutrah/satir), yang jaraknya dekat, yakni maksimalnya sekitar 3 hasta (sekitar 150 cm, Fathul Ilahil Malik – Qasim An Nuri), dan tingginya minimal adalah 2/3 hasta (sekitar 34 cm, Fathul Ilahil Malik – Qasim An Nuri). Penutup ini bisa berupa dinding, cekungan/tanah rendah, hewan tunggangan (sapi/unta yang menderum atau kambing yang berdiri), atau ujung baju yang terjulur yang berada di arah kiblat. Jadi, yang menjadi patokan bolehnya menghadap atau membelakangi kiblat, baik di tempat lapang atau di bangunan adalah keberadaan sutrah (yang jarak maksimalnya dan tinggi minimalnya sudah disebutkan sebelumnya). Jika tidak dijumpai adanya sutrah tersebut, maka hukumnya menjadi haram.

Terkait point nomor 6 ini, demikian adalah pendapat penulis Umdatus Salik wa Uddatun Nasik (Imam Ibnu An Naqib Al Mishri) terkait hukum menghadap dan membelakangi kiblat, namun, pendapat yang lebih detil adalah patokan boleh tidaknya menghadap kiblat adalah apakah tempat tersebut disiapkan untuk tempat buang hajat atau tidak, meskipun di tanah lapang. Jika memang disiapkan untuk tempat buang hajat, maka hukumnya mubah, tidak haram dan tidak makruh. Suatu tempat mencukupi disebut sebagai tempat yang disiapkan untuk buang hajat jika sudah pernah dipakai, meskipun hanya 1 kali, dan akan dipakai lagi untuk buang hajat.

Penulis Umdatus Salik wa Uddatun Nasik (Imam Ibnu An Naqib Al Mishri) juga menyebutkan bahwa hukum membuang hajat di marakhid (toilet-toilet) yang jaraknya jauh (lebih dari 3 hasta) atau tingginya kurang dari 2/3 hasta adalah makruh. Akan tetapi, pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafii, hukum menghadap dan membelakangi kiblat saat buang hajat di marakhid (toilet-toilet) adalah mubah dan tidak makruh. Terdapat pula pendapat lain yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah khilaful aula (menyesilihi yang lebih utama), tidak sampai makruh.


Tata Cara Berwudhu

Tata cara wudhu yang benar telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Humran, seorang bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu anhu :

“Suatu ketika ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu meminta air wudhu, kemudian dia berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali. Kemudian berkumur-kumur dan istintsar (mengeluarkan air dari hidung, tentunya didahului memasukkan air ke hidung; istinsyaq). Lalu membasuh wajahnya 3 kali. Setelahnya membasuh tangan kanannya sampai ke siku 3 kali.

Kemudian membasuh tangan kirinya dengan cara yang sama. Selanjutnya beliau mengusap kepalanya dengan air (1 kali). Terakhir membasuh kaki kanannya sampai mata kaki 3 kali, lalu membasuh kaki kirinya dengan cara yang sama. Kemudian Utsman mengatakan,

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dengan tanpa menyibukan jiwanya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”

Ibnu Syihab mengatakan bahwa para ulama berkata, “Wudhu ini adalah wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat.” (Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/204 no. 226)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/266 no. 164), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/180 no. 106), dan Sunan an-Nasa-i (I/64).)

Cara Wudhu yang Benar Berdasarkan Hadits

Maka dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut :

1.       Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats, ikhlas karena Alloh semata.

Rasulullah shollallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

 

إنّما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya.”

2.       Tasmiyah (mengucapkan basmalah)

3.       Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.

4.       Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke hidung). Kemudian ber-istintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak tiga kali.

Cara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu :

 

فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا

 

“Kemudian ia berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung melalui satu telapak tangan dan hal demikian dilakukan sebanyak tiga kali.” ‘Abdullah bin Zaid mengatakan itulah cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 235)

Berdasarkan hadits ini Ibnul Qoyyim menyimpulkan; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyambungkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (dengan satu cidukan, satu kali jalan). Beliau mengambil sebagian cidukan untuk mulut dan sebagiannya lagi untuk hidungnya.

5.       Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyela jenggot sebanyak tiga kali

Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela air ke jenggotnya ketika berwudhu. (HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) (HR. Tirmidzi, no. 31; Ibnu Khuzaimah, 151, 152.). Disyariatkan menyela-nyela jenggot ketika wudhu. Ini berlaku jika jenggot lebat (menutupi kulit). Adapun jenggot yang tipis yang tidak sampai menutupi kulit, maka wajib dicuci, termasuk pula kulitnya.

Menurut Ibnul Qayyim menyela-nyela jenggot di sini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang. Jadi yang sesuai sunnah adalah kadang dilakukan dan kadang ditinggalkan.

6.       Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyela jemari sebanyak tiga kali kemudian dilanjutkan dengan tangan kiri.

7.       Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak satu kali, kemudian dilanjutkan dengan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak satu kali.

8.       Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyela jemari sebanyak tiga kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

9.       Tartib

10.   Lalu dilanjutkan dengan membaca do’a.

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْن

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Artinya: Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci. Mahasuci Engkau Ya Allah dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.

 

Tata Cara Tayamum

1.       Membaca bismillah

2.       Niat tayamum

Adapun niat tayamum sebagai berikut:

 

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضً ِللهِ تَعَالَى

 

Artinya: "Aku niat bertayammum untuk dapat mengerjakan salat, karena Allah ta’ala"

 

3.       Menepuk kedua telapak tangan kepermukaan tanah dengan sekali tepukan

4.       Meniup kedua telapak tangan sebelum membasuhkannya keanggota tayamum

5.       Mengusap muka dan kedua tangan  hingga siku.

Tertib (berturut-turut).

 

Sumber: https://darussalam.or.id/2021/03/adab-dan-hukum-istinja-bersuci-buang-hajat/

             https://www.bacaanmadani.com/2017/01/pengertian-hadas-macam-macam-penyebab.html


No comments:

Post a Comment