1. Pengertian Najis dan Hadats
Menurut bahasa Najis berasal dari bahasa Arab, yaitu an-najsu
اَلنَّجْسُatau
an-najisu اَلنَّجِسُ yang berarti
kotor atau menjijikkan, tidak bersih atau tidak suci baik yang bersifat hissiyah
maupun ma’nawiyah. Najis yang bersifat
hissiyah adalah najis yang terlihat oleh mata dan dirasa oleh panca
indra seperti jilatan anjing, kotoran manusia atau hewan, kencing, darah
haid dan nifas. Najis yang bersifat maknawiyah adalah najis yang menodai
akidah sehingga tidak dapat dilihat oleh manusia seperti Syirik dan kufur.
Menurut istilah, najis bisa diartikan suatu benda yang
mengotori pakaian atau badan kita yang menghalangi sahnya ibadah kita kepada
Allah. Najis adalah kotoran yang wajib oleh seorang yang terkena olehnya. Menurut
Ilmu fiqih merupakan benda yang haram disentuh secara mutlak (kecuali dalam
keadaan darurat) dan harus dibersihkan apabila terkena benda najis. Najis harus
dibersihkan karena menghalangi sahnya ibadah.
2.
Dasar-Dasar Hukum
Perintah Bersuci
Ayo kita cermati dengan seksama, dan temukan persamaan dan
berbedaan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis dibawah ini:
a) Allah Swt. berfirman:
Artinya:
وَثِيَابَكَ
فَطَهِّرْ
”Dan
bersihkanlah pakaianmu” QS. Al-Mudatstsir (74): 4.
b) Dan Firman Allah Swt. :
اَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ
وَالْعٰكِفِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ
Artinya: “Bersihkanlah
rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan
orang yang sujud!”QS. Al-Baqarah (2): 125.
c) Nabi Muhammad Saw bersabda:
Hadats
Hadas adalah keadaan pada diri
seseorang yang dianggap bernajis, seperti haid, nifas dan lainnya, sehingga
menyebabkan seseorang tidak dibenarkan untuk melakukan shalat. Atau dengan
ungkapan lain, Hadas adalah keadaan yang menyebabkan seorang menjadi tidak
suci.
Macam-Macam Hadas
1.
Hadas Kecil
Hadas kecil
adalah kondisi hukum dimana seseorang sedang tidak dalam keadaan berwudhu'.
Entah memang karena asalnya belum berwudhu' ataupun sudah berwudhu' tetapi
sudah batal lantaran melakukan hal-hal tertentu. Misalnya, seorang yang
tertidur pulas secara hukum telah batal wudhu'-nya, namun secara fisik tidak
ada kotoran yang menimpanya.
Dalam hal ini
dikatakan bahwa orang itu berhadats kecil. Dan untuk mensucikannya dia wajib
berthaharah ulang dengan cara berwudhu' atau bertayammum bila tidak ada air.
Penyebab
Hadas Kecil
Hal-hal yang
bisa mengakibatkan hadats kecil adalah ada beberapa hal, diantaranya adalah:
·
keluarnya sesuatu lewat
lubang kemaluan
·
Tidur
·
hilang akal
·
menyentuh kemaluan
·
dan menyentuh kulit lawan
jenis.
Hal-hal yang
membuat seseorang berhadats kecil dan bisa membatalkan wudhu' ada beberapa hal.
Sebagian disepakati para ulama dan sebagian lainnya masih menjadi khilaf atau
perbedaan pendapat.
1.
Keluar Sesuatu Lewat
Kemaluan
Yang dimaksud kemaluan itu termasuk bagian depan dan
belakang. Dan yang keluar itu bisa apa saja termasuk benda cair seperti air
kencing, mani, wadi, mazi, atau apapun yang cair. Juga berupa benda padat
seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau lainnya. Pendeknya apapun juga benda
gas seperti kentut.
Kesemuanya itu bila keluar lewat dua lubang qubul dan
dubur membuat wudhu' yang bersangkutan menjadi batal. Dasarnya adalah firman
Allah SWT berikut ini :
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau bila salah seorang dari kamu datang dari
tempat buang air." (QS. Al-Maidah : 6), Juga berdasarkan hadits nabawi
:
إِذَا وَجَدَ
أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَل عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ
لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah
SAW bersasabda,”Bila seseorang dari kalian mendapati sesuatu pada perutnya lalu
dia merasa ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka tidak perlu dia
keluar dari masjid, kecuali dia mendengar suara atau mencium baunya”. (HR.
Muslim)
2.
Tidur
Tidur yang bukan dalam posisi tetap (tamakkun) di atas
bumi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
مَنْ نَامَ
فَلْيَتَوَضَّأ -رواه أبو داود وابن ماجة.
“Siapa yang tidur maka hendaklah dia berwudhu' (HR.
Abu Daud dan Ibnu Majah)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat
hilangnya kesadaran seseorang. Termasuk juga tidur dengan berbaring atau
bersandar pada dinding. Sedangkan tidur sambil duduk yang tidak bersandar
kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk yang membatalkan wudhu'
sebagaimana hadits berikut :
عَنْ أَنَسٍ رَضي
الله عنه قاَلَ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهsيَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ
يَتَوَضَّؤُنَ - رواه مسلم - وزاد أبو داود : حَتَّى تَخْفَق رُؤُسُهُم وَكَانَ
ذَلِكَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ
Dari Anas radhiyallahuanhu berkata bahwa para
shahabat Rasulullah SAW tidur kemudian shalat tanpa berwudhu' (HR. Muslim)
- Abu Daud menambahkan : Hingga kepala mereka terkulai dan itu terjadi di masa
Rasulullah SAW.
3.
Hilang Akal
Hilang akal baik karena mabuk atau sakit. Seorang yang
minum khamar dan hilang akalnya karena mabuk maka wudhu' nya batal. Demikian
juga orang yang sempat pingsan tidak sadarkan diri juga batal wudhu'nya.
Demikian juga orang yang sempat kesurupan atau menderita penyakit ayan dimana
kesadarannya sempat hilang beberapa waktu wudhu'nya batal. Kalau mau shalat
harus mengulangi wudhu'nya.
4.
Menyentuh Kemaluan
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ
فَلْيَتَوَضَّأ - رواه أحمد والترمذي
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu.”
(HR. Ahmad dan At-Tirmizy)
Para ulama kemudian menetapkan dari hadits ini bahwa
segala tindakan yang masuk dalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan
batalnya wudhu. Baik menyentuh kemaluannya sendiri ataupun kemaluan orang lain.
Baik kemaluan laki-laki maupun kemaluan wanita. Baik kemaluan manusia yang
masih hidup ataupun kemauan manusia yang telah mati (mayat). Baik kemaluan
orang dewasa maupun kemaluan anak kecil. Bahkan para ulama memasukkan dubur
sebagai bagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu. Namun para ulama
mengecualikan bila menyentuh kemaluan dengan bagian luar dari telapak tangan
dimana hal itu tidak membatalkan wudhu'.
5.
Menyentuh Kulit Lawan
Jenis. Menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram tanpa ada lapisan atau
penghalan, termasuk hal yang membatalkan wudhu menurut pendapat para ulama.
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menyentuh kulit lawan
jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu'. Namun hal ini memang
sebuah bentuk khilaf di antara para ulama. Sebagian mereka tidak memandang
demikian. Sebab perbedaan pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat
Al-Quran yaitu :
أَوْ لامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
“Atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu
tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik.” (QS.
An-Nisa : 43)
Sebagian ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai
kiasan yang maksudnya adalah jima’ (hubungan seksual). Sehingga bila hanya
sekedar bersentuhan kulit tidak membatalkan wuhu’. Ulama kalangan As-Syafi’iyah
cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka
sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan
wudhu’. Menurut mereka bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna
hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya.
Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara
kiasan. Dan Imam Asy-Syafi’i nampaknya tidak menerima hadits Ma’bad bin Nabatah
dalam masalah mencium. Namun bila ditinjau lebih dalam pendapat-pendapat di
kalangan ulama Syafi’iyah, sebenarnya kita masih juga menemukan beberapa
perbedaan. Misalnya sebagian mereka mengatakan bahwa yang batal wudhu’nya
adalah yang sengaja menyentuh sedangkan yang tersentuh tapi tidak sengaja
menyentuh maka tidak batal wudhu’nya. Juga ada pendapat yang membedakan antara
sentuhan dengan lawan jenis non mahram dengan pasangan (suami istri). Menurut
sebagian mereka bila sentuhan itu antara suami istri tidak membatalkan wudhu’.
Dan sebagian ulama lainnya lagi memaknainya secara harfiyah sehingga menyentuh
atau bersentuhan kulit dalam arti fisik adalah termasuk hal yang membatalkan
wudhu’. Pendapat ini didukung oleh Al-Hanafiyah dan juga semua salaf dari
kalangan shahabat.
Sedangkan Al-Malikiyah dan jumhur pendukungnya
mengatakan hal sama kecuali bila sentuhan itu dibarengi dengan syahwat (lazzah)
maka barulah sentuhan itu membatalkan wudhu’. Pendapat mereka dikuatkan dengan
adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh
para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu’ lagi. Dari
Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah radhiyallahuanhadari Nabi SAW bahwa
Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa
berwudhu”.(HR. Turmuzi Abu Daud An-Nasai Ibnu Majah dan Ahmad).
Larangan Saat Berhadats Kecil
Ada beberapa larangan bagi mereka yang sedang dalam
keadaan hadats kecil, di antaranya melakukan shalat, menyentuh mushaf, thawaf
di seputar Ka'bah dan juga khutbah Jumat.
1.
Melakukan Shalat
Untuk melakukan shalat diwajibkan berwudhu' baik untuk
shalat wajib maupun shalat sunnah. Termasuk juga di dalamnya sujud tilawah.
Dalilnya adalah ayat Al-Quran Al-Karim berikut ini :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ
إِلَى الْكَعْبَين
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak
mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan
sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki...” (QS.
Al-Maidah : 6).
Juga hadits Rasulullah SAW berikut ini : Dari Abi
Hurairah radhiyallahuanhu bahw Nabi SAW bersabda "Tidak ada shalat kecuali
dengan wudhu'. Dan tidak ada wudhu' bagi yang tidak menyebut nama Allah." (HR.
Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah).
Shalat kalian tidak akan diterima tanpa kesucian (berwudhu’)
(HR. Bukhari dan Muslim).
2.
Menyentuh Mushaf
Jumhur ulama umumnya menyatakan bahwa diharamkan
menyentuh mushaf Al-Quran bila seseorang dalam keadaan hadats kecil atau dalam
kata lain bila tidak punya wudhu'. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengatakan
bahwa haram bagi orang yang dalam keadaan hadats kecil untuk menyentuh mushaf
meski pun dengan alas atau batang lidi. Sedangkan Al-Hanafiyah meski
mengharamkan sentuhan langsung namun bila dengan menggunakan alas atau batang
lidi hukumnya boleh. Syaratnya alas atau batang lidi itu suci tidak mengandung najis.
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ
المـُطهَّرُون
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang
suci.” (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Serta hadits Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang
ditulis oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : "Janganlah
seseorang menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci”.(HR. Malik).
Keharaman menyentuh mushaf bagi orang yang berhadats
kecil ini sudah menjadi ijma' para ulama yang didukung 4 mazhab utama.
Sedangkan pendapat yang mengatakan tidak haram yaitu pendapat mazhab Daud
Ad-Dzahiri. Dalam pandangan mazhab ini yang diharamkan menyentuh mushaf
hanyalah orang yang berhadats besar sedangkan yang berhadats kecil tidak
diharamkan. Pendapat senada datang dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.
3.
Thawaf di Seputar Ka’bah
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum berwudhu’ untuk
thawaf di ka’bah adalah fardhu. Kecuali Al-Hanafiyah. Hal itu didasari oleh
hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahw
Rasulullah SAW bersabda’Thawaf di Ka’bah itu adalah shalat kecuali Allah telah
membolehkannya untuk berbicara saat thawaf. Siapa yang mau bicara saat thawaf
maka bicaralah yang baik-baik.(HR. Ibnu Hibban Al-Hakim dan Tirmizy)
4.
Khutbah Jumat
Dalam pandangan Mazhab Al-Malikiyah dan
Asy-Syafi’iyah, menyampaikan Khutbah Jumat juga disyaratkan dalam keadaan suci
dari hadats kecil. Karena kedudukan Khutbah Jumat merupakan bagian dari Shalat
Jumat. Berthaharah dari Hadats Kecil Bertaharah dari hadats kecil dilakukan
dengan dua cara, yaitu wudhu dan tayammum. Namun tayammum hanya dibolehkan
manakala semua syarat wudhu sudah tidak ada lagi. Dan tayammum sebenarnya bukan
hanya mengangkat hadats kecil saja tetapi juga termasuk hadats besar.
2.
Hadas Besar
Hadas besar adalah kondisi hukum dimana seseorang
sedang dalam keadaan janabah. Dan janabah itu adalah status hukum yang tidak
berbentuk fisik. Maka janabah tidak identik dengan kotor.
Ada beberapa penyebab kenapa seseorang menyandang
status sedang janabah, diantaranya adalah keluar mani. Dalam hal ini. orang
yang mengalami keluar mani, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, meski dia
telah mencuci maninya dengan bersih lalu mengganti bajunya dengan yang baru dia
tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Penyebab Hadats Besar Hal-hal yang bisa mengakibatkan hadats besar antara lain
adalah keluar mani, bertemunya dua kemaluan, meninggal dunia, mendapat haidh,
nifas dan melahirkan bayi. Ketiga penyebab pertama itu bisa terjadi pada
laki-laki dan perempuan, sedangkan tiga penyebab yang terakhir hanya terjadi
pada diri perempuan. Para ulama menetapkan paling tidak ada 6 hal yang
mewajibkan seseorang untuk mandi janabah. Tiga hal di antaranya dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan. Tiga lagi sisanya hanya terjadi pada perempuan. Beberapa
penyebab hadas besar diantaranya:
1.
Keluar Mani
Keluarnya air mani menyebabkan seseorang mendapat
janabah baik dengan cara sengaja (masturbasi) atau tidak. Dasarnya adalah sabda
Rasulullah SAW berikut ini : Dari Abi Said Al-Khudhri radhiyallahuanhu
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Sesungguhnya air itu (kewajiban
mandi) dari sebab air (keluarnya sperma)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun ada sedikit berbedaan pandangan dalam hal ini di
antara para fuqaha'. Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
mensyaratkan keluarnya mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik
keluar dengan sengaja atau tidak sengaja. Yang penting ada dorongan syahwat
seiring dengan keluarnya mani. Maka barulah diwajibkan mandi janabah. Sedangkan
mazhab Asy-syafi'iyah memutlakkan keluarnya mani baik karena syahwat ataupun
karena sakit semuanya tetap mewajibkan mandi janabah. Sedangkan air mani
laki-laki itu sendiri punya ciri khas yang membedakannya dengan wadi dan mazi :
Dari aromanya air mani memiliki aroma seperti aroma 'ajin (adonan roti).
Dan seperti telur bila telah mengering. Keluarnya dengan cara memancar
sebagaimana firman Allah SWT :
من ماء دافق
Rasa lezat ketika keluar dan setelah itu syahwat
jadi mereda. Mani Wanita
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ -وَهِيَ اِمْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ- قَالَتْ: يَا رَسُولَ
اَللَّهِ! إِنَّ اَللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ اَلْحَقِّ فَهَلْ عَلَى اَلْمَرْأَةِ
اَلْغُسْلُ إِذَا اِحْتَلَمَتْ ؟ قَالَ: نَعَمْ. إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ -
مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari Ummi Salamah radhiyallahu anha bahwa Ummu
Sulaim istri Abu Thalhah bertanya :"Ya Rasulullah sungguh Allah tidak mau
dari kebenaran apakah wanita wajib mandi bila keluar mani? Rasulullah SAW
menjawab :"Ya bila dia melihat mani keluar". (HR. Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa wanita pun mengalami
keluar mani bukan hanya laki-laki.
2.
Bertemunya Dua Kemaluan
Yang dimaksud dengan bertemunya dua kemaluan adalah
kemaluan laki-laki dan kemaluan wanita. Dan istilah ini disebutkan dengan
maksud persetubuhan (jima'). Dan para ulama membuat batasan : dengan
lenyapnya kemaluan (masuknya) ke dalam faraj wanita atau faraj apapun baik
faraj hewan. Termasuk juga bila dimasukkan ke dalam dubur baik dubur wanita
ataupun dubur laki-laki baik orang dewasa atau anak kecil. Baik dalam keadaan
hidup ataupun dalam keadaan mati. Semuanya mewajibkan mandi di luar larangan
perilaku itu. Hal yang sama berlaku juga untuk wanita dimana bila farajnya
dimasuki oleh kemaluan laki-laki baik dewasa atau anak kecik baik kemaluan
manusia maupun kemaluan hewan baik dalam keadaan hidup atau dalam keadaan mati
termasuk juga bila yang dimasuki itu duburnya. Semuanya mewajibkan mandi di
luar masalah larangan perilaku itu. Semua yang disebutkan di atas termasuk
hal-hal yang mewajibkan mandi meskipun tidak sampai keluar air mani. Dalilnya
adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :
Dari Aisyah radhiyallahuanhaberkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda :"Bila dua kemaluan bertemu atau bila kemaluan
menyentuh kemaluan lainnya maka hal itu mewajibkan mandi janabah. Aku
melakukannya bersama Rasulullah SAW dan kami mandi. Dari Abi Hurairah
radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Bila seseorang
duduk di antara empat cabangnya kemudian bersungguh-sungguh (menyetubuhi) maka
sudah wajib mandi." (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dalam riwayat Muslim disebutkan : "Meski pun
tidak keluar mani"
3.
Meninggal Seseorang yang
meninggal maka wajib atas orang lain yang masih hidup untuk memandikan
jenazahnya. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw tentang orang yang sedang ihram
tertimpa kematian :
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ
وَسِدْرٍ
Rasulullah SAW bersabda :"Mandikanlah dengan
air dan daun bidara’. (HR. Bukhari dan Muslim)
4.
Haidh
Haidh atau menstruasi adalah kejadian alamiyah yang
wajar terjadi pada seorang wanita dan bersifat rutin bulanan. Keluarnya darah
haidh itu justru menunjukkan bahwa tubuh wanita itu sehat. Dalilnya adalah
firman Allah SWT dan juga sabda Rasulullah SAW :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ
تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah:
"Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah
: 222)
Nabi SAW bersabda:
Apabila haidh tiba tingalkan shalat apabila telah
selesai (dari haidh) maka mandilah dan shalatlah. (HR Bukhari dan Muslim)
5.
Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang
wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi janabah meski bayi yang
dilahirkannya itu dalam keadaan mati. Begitu berhenti dari keluarnya darah
sesudah persalinan atau melahirkan maka wajib atas wanita itu untuk mandi
janabah. Hukum nifas dalam banyak hal lebih sering mengikuti hukum haidh.
Sehingga seorang yang nifas tidak boleh shalat puasa thawaf di baitullah masuk
masjid membaca Al-Quran menyentuhnya bersetubuh dan lain sebagainya.
6.
Melahirkan
Seorang wanita yang melahirkan anak meski anak itu
dalam keadaan mati maka wajib atasnya untuk melakukan mandi janabah. Bahkan
meski saat melahirkan itu tidak ada darah yang keluar. Artinya meski seorang
wanita tidak mengalami nifas namun tetap wajib atasnya untuk mandi janabah
lantaran persalinan yang dialaminya. Sebagian ulama mengatakan bahwa illat
atas wajib mandinya wanita yang melahirkan adalah karena anak yang dilahirkan
itu pada hakikatnya adalah mani juga meski sudah berubah wujud menjadi manusia.
Dengan dasar itu maka bila yang lahir bukan bayi tapi janin sekalipun tetap
diwajibkan mandi lantaran janin itu pun asalnya dari mani.
Larangan Saat Berhadas Besar
Adapun apa saja yang dilarang untuk dikerjakan ketika
seseorang berhadats besar, antara lain adalah shalat, sujud tilawah, thawaf,
memegang atau menyentuh mushaf Al-Quran, melafazkannya, serta masuk ke dalam
masjid dan berdiam di dalamnya.
1.
Shalat
Dasar keharaman shalat dalam keadaan hadats besar
adalah hadits berikut ini :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda :"Tidak diterima shalat yang tidak dengan
kesucian". (HR. Muslim).
2.
Sujud Tilawah
Sujud tilawah adalah sujud yang disunnahkan pada saat
kita membaca ayat-ayat tilawah, khususnya sujud yang dilakukan di dalam shalat.
Mengigat bahwa syarat dari sujud tilawah adalah suci dari hadats kecil dan
besar. Sehingga orang yang dalam keadaan janabah haram hukumnya melakukan sujud
tilawah.
3.
Thawaf
Thawaf di Baitullah Al-Haram senilai dengan shalat,
sehingga kalau shalat itu terlarang bagi orang yang janabah, otomatis demikian
juga hukumnya buat thawaf. Dasar persamaan nilai shalat dengan thawaf adalah
sabda Rasulullah SAW :
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu bahwa
Rasulullah SAW bersabda :"Thawaf di Baitullah adalah shalat kecuali Allah
membolehkan di dalamnya berbicara." (HR. Tirmizy Al-Hakim dan Adz-Dzahabi
menshahihkannya). Dengan hadits ini mayoritas (jumhur) ulama sepakat untuk
mengharamkan thawaf di seputar ka'bah bagi orang yang janabah sampai dia suci
dari hadatsnya. Kecuali ada satu pendapat menyendiri dari madzhab Al-Hanafiyah
yang menyebutkan bahwa suci dari hadats besar bukan syarat sah thawaf melainkan
hanya wajib. Sehingga dalam pandangan yang menyendiri ini, seorang yang thawaf
dalam keadaan janabah tetap dibenarkan, namun dia wajib membayar dam berupa
menyembelih seekor kambing.
Pendapat ini didasarkan pada fatwa Ibnu Abbas ra. yang
menyebutkan bahwa menyembelih kambing wajib bagi seorang yang melakukan ibadah
haji dalam dua masalah : Bila thawaf dalam keadaan janabah Bila melakukan
hubungan seksual setelah wuquf di Arafah.
4.
Memegang atau Menyentuh
Mushaf Jumhur ulama sepakat bahwa orang yang berhadats besar, termasuk juga orang
yang haidh, dilarang menyentuh mushaf Al-Quran. Dalilnya adalah firman Allah
SWT berikut ini :
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ
المُطَهَّرُون
“Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah :79)
Ditambah dan dikuatkan dengan hadits Rasulullah SAW
berikut ini : Dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa dalam surat yang ditulis
oleh Rasulullah SAW kepada ‘Amr bin Hazm tertulis : "Janganlah seseorang
menyentuh Al-Quran kecuali dia dalam keadaan suci”.(HR. Malik).
5.
Melafazkan Ayat-ayat
Al-Quran
Empat madzhab yang ada yaitu Al-Hanafiyah,
Al-Malikiyah Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah semuanya sepakat bulat
mengharamkan orang yang dalam keadaan janabah untuk melafadzkan ayat-ayat
Al-Quran. Dari Abdillah Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasululah SAW
bersabda :"Wanita yang haidh atau orang yang janabah tidak boleh
membaca sepotong ayat Quran." (HR. Tirmizy) Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu berkata: "Bahwa Rasulullah SAW tidak terhalang dari
membaca Al-Quran kecuali dalam keadaan junub." (HR. Ahmad).
Larangan ini dengan pengecualian kecuali bila lafadz
Al-Quran itu hanya disuarakan di dalam hati. Juga bila lafadz itu pada
hakikatnya hanyalah doa atau zikir yang lafznya diambil dari ayat Al-Quran
secara tidak langsung (iqtibas). Namun ada pula pendapat yang
membolehkan wanita haidh membaca Al-Quran dengan catatan tidak menyentuh mushaf
dan takut lupa akan hafalannya bila masa haidhnya terlalu lama. Juga dalam
membacanya tidak terlalu banyak. Pendapat ini adalah pendapat Malik.
Diriwayatkan bawa Ibnu Abbas radhiyalahu anhu dan Said ibnul Musayyib termasuk
pihak yang membolehkan wanita haidh melafadzkan ayat-ayat bahkan keseluruhan
Al-Quran.
6.
Masuk ke Masjid
Seorang yang dalam keadaan janabah oleh Al-Quran
Al-Karim secara tegas dilarang memasuki masjid, kecuali bila sekedar melintas
saja.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ
تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُبًا إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ
تَغْتَسِلُواْ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat
sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar
berlalu saja hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisa' : 43).
Selain Al-Quran Sunnah Nabawiyah juga mengharamkan hal itu : Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda ‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Bukhari Abu Daud dan Ibnu Khuzaemah) Berthaharah dari Hadats Besar Untuk mengangkat atau menghilangkan hadats besar, ritual yang harus dijalankan adalah mandi janabah. Penulis membuat bab tersendiri untuk membahas mandi janabah. Dan dalam kondisi tidak ada air, mandi janabah bisa digantikan dengan tayammum yang sesungguhnya bukan hanya berfungsi sebagai pengganti wudhu, tetapi juga berfungsi sebagai pengganti dari mandi janabah. Maka bila ada seseorang yang terkena janabah tidak perlu bergulingan di atas tanah. Cukup baginya untuk bertayammum saja. Karena tayammum bisa menggantikan dua hal sekaligus yaitu hadats kecil dan hadats besar. Namun karena sifatnya yang sebagai pengganti sementara, maka bagi orang yang bersuci dari hadats besar dengan tayammum, tiap kali mengerjakan shalat, thawaf, i'tikaf dan lainnya, wajiblah atasnya untuk bertayammum lagi. Mengingat sifatnya yang hanya mengangkat hadats besar sementara.
Adab-adab dan Hukum Istinja/Bersuci dari Buang Hajat
Hal-hal yang disunnahkan bagi orang yang hendak ke tempat
buang hajat:
1.
Menggunakan sandal atau
alas kaki lainnya, kecuali jika terdapat udzur (seperti sakit atau yang
lainnya). Tujuannya adalah agar kaki terjaga dari kotoran dan air.
2.
Menutup kepalanya. Hal ini
berdasarkan hadits yang mursal dari Habib bin Shalih rahimahullaahu taálaa,
bahwasannya beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ
الخَلَاءَ لَبِسَ خِذَاءَهُ وَغَطَّى رَأْسَهُ
“Dahulu Rasulullaah shallallaahu álaihi
wa sallam memakai sandalnya dan menutup kepalanya jika masuk ke tempat buang
hajat.” (HR. Al Baihaqi 96/1).
Selain itu, terdapat pula riwayat shahih
dari Abu Bakar As Shiddiq bahwasannya beliau menutup kepala tatkala beliau
membuang hajat.
3.
Menjauhkan sesuatu yang di
dalamnya terdapat penyebutan nama Allah dan Rasul-Nya, dan nama-nama yang
diagungkan (seperti nama-nama Allah, nabi atau malaikat). Sehingga, jika
seseorang masuk membawa cincin yang bertuliskan tulisan-tulisan tersebut (dan
tidak bisa dilepas sebelum masuk), maka telapak tangannya digabungkan agar
tulisan tersebut tertutup. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas radhiyallaahu
ánhu,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ
الخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ
“Dahulu Rasulullaah shallallaahu álaihi
wa sallam melepas cincinnya jika hendak masuk tempat buang hajat.” (HR. Abu
Dawud 19, At Tirmidzi 1746 dan beliau berkata : hasan shahih).
Beliau shallallaahu álaihi wa sallam
melepas cincinnya karena terdapat tulisan Muhammad adalah rasulullaah,
sebagaimana dalam hadits dari Anas radhiyallaahu ánhu berikut.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ ، ثَلَاثَة أَسْطُرٍ
“(Tulisan) Muhammad adalah Rasulullaah,
sebanyak tiga baris.” (HR. Al Bukhari 5878 dan Muslim 2092).
4.
Menyiapkan batu-batu untuk
istinja (bersuci dari buang hajat) sebelum buang hajat, berdasarkan hadits dari
Aisyah radhiyallaahu ánhaa,
إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ
بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ
“Jika salah seorang dari kalian hendak
buang hajat, hendaknya dia membawa tiga batu untuk bersuci dari buang hajat,
karena hal tersebut sudah mencukupi.” (HR. Abu Dawud 40)
5.
Sebelum masuk tempat buang
hajat membaca basmalah dan doa berikut, sebagaimana riwayat dari Anas
radhiyallaahu ánhu,
بِسْمِ اللهِ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبُثِ
وَالْخَبَائِثِ
“Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan
perempuan.” (HR Al Bukhari 142 dan Muslim 375 dari Anas radhiyallaahu ánhu
tanpa penyebutan basmalah).
6.
Membaca bacaan berikut
tatkala keluar dari tempat buang hajat,
غُفْرَانَكَ
“(Ya Allah aku memohon) ampunan-Mu.”
(HR. Abu Dawud 30 dan At Tirmidzi)
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِىْ اَذْهَبَ عَنِّى اْلاَذَى
وَعَافَانِي
“Segala puji bagi Allah yang telah
menghilangkan kotoran dari diriku dan menjagaku.” (HR. Ibnu Majah 300 dan
301 dari Anas radhiyallaahu ánhu).
7.
Mendahulukan kaki kiri
ketika masuk tempat buang hajat,
8.
Mendahulukan kaki kanan
ketika keluar dari tempat buang hajat. Berbeda dengan sunnah masuk masjid,
yakni mendahulukan kaki kanan ketika masuk dan mendahulukan kaki kiri ketika
keluar, dalam rangka memuliakan masjid.
Penyebutan dzikir ketika masuk tempat buang
hajat dan ketika keluarnya, mendahulukan kaki kiri ketika masuk dan kaki kanan
ketika keluar, serta menjauhkan penyebutan nama Allah dan Rasul-nya, tidak
hanya dikhususkan pada tempat buang hajat di dalam bangunan. Akan tetapi,
disyariatkan juga untuk tempat yang lapang/kosong. Pada asalnya tempat yang
lapang adalah bukan tempat setan, karena bukan tempat buang hajat. Namun,
dengan meniatkan untuk buang hajat di tempat tersebut, maka menjadi tempat
setan, sehingga disyariatkan hal-hal tersebut.
9.
Tidak mengangkat bajunya,
hingga sampai mendekat ke tanah, dalam rangka untuk menutup aurat semaksimal
mungkin. Berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallaahu ánhumaa,
أَنَّ النَبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَمْ يَرْفَعْ ثَوْبَهُ –
حِينَ رَآهُ مِنْ فَوقِ سَطْحِ بَيْتِ حَفْصَةَ – حَتَّى دَنَا مِنَ الأَرْضِ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu álaihi wa
sallam tidak mengangkat baju beliau – tatkala Ibnu Umar melihat beliau dari
atas atap rumah Hafshah – hingga beliau mendekat ke tanah.” (HR. Abu Dawud
14)
10.
Menjulurkan bajunya sebelum
berdiri setelah selesai buang hajat, dalam rangka semaksimal mungkin untuk
menutup aurat.
11.
Bertumpu pada kaki kiri
saat buang hajat, dan menegakkan kaki kanannya. Ini adalah posisi untuk
memudahkan keluarnya kotoran. Hal ini berdasarkan keterangan dari Suraqah bin
Malik radhiyallaahu ánhu,
عَلَّمَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ
أَحَدُنَا الخَلَاءَ ، أَنْ يَعْتَمِدَ اليُسْرَى وَيَنْصُبَ اليُمْنَى
“Rasulullaah shallallaahu álaihi wa
sallam mengajari kami untuk bertumpu pada kaki kiri dan menegakkan kaki kanan,
jika salah seorang dari kami hendak buang hajat.”(HR. Al Baihaqi 96/1. Al
Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At Talkhis (118/1): At Thabrani dan Al Baihaqi
meriwayatkan hadits tersebut. Dan beliau menukil perkataan Al Hazimi: Kami tidak
mengetahui dalam masalah ini selain hadits tersebut, dan di dalam sanadnya
terdapat perawi yang kami tidak ketahui).
12.
Tidak
memperpanjang/berlama-lama saat buang hajat. Hal ini bisa memberikan madharat
bagi hati atau menyebabkan penyakit bawasir.
13.
Tidak berbicara/berbincang-bincang
saat buang hajat, kecuali karena darurat seperti meminta air untuk bersuci. Hal
ini berdasarkan keterangan dari Ibnu Umar radhiyallaahu ánhumaa,
أَنَّ رَجُلًا مَرَّ رَسُولَ اللهِ يَبُولُ ، فَسَلَّمَ
عَلَيهِ … فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيهِ
“Ada seorang laki-laki yang melewati
Rasulullaah dan mengucapkan salam kepada beliau, ketika beliau sedang buang air
kecil, maka beliau tidak membalas salam laki-laki tersebut.” (HR. Muslim
380).
Selain itu, terdapat hadits dari Abu Said
radhiyallaahu ánhu,
لَا يَخْرُجُ الرَجُلَانِ يَضْرِبَانِ الغَائِطَ كَاشِفَينِ
عَنْ عَورَتِهِمَا يَتَحَدَّثَانِ فَإِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَمْقُتُ
عَلَى ذَلِكَ
“Tidaklah pergi dua orang untuk membuang
hajat, dalam keadaan tersingkap aurat keduanya dan saling bercakap-cakap, maka
sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Taáalaa akan murka akan hal tersebut.” (HR.
Abu Dawud 15 dan Al Hakim 157/1, dan dishahihkan dan disepakati oleh Adz
Dzahabi).
14.
Jika buang air kecil sudah
berhenti, hendaknya mengusap dengan menggunakan tangan kirinya mulai dari
bagian duburnya (pangkal kemaluan) hingga kepala dzakarnya. Hal ini bertujuan
untuk mengeluarkan apa yang tersisa di saluran kencing.
15.
Kemudian mengurut bagian
tadi, dengan lemah lembut sebanyak tiga kali untuk menyempurnakan istibra
(keluarnya semua air kencing). Hal ini tidak boleh berlebih-lebihan karena bisa
menimbulkan was-was. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallaahu
ánhumaa,
إنَّهُما ليُعذبانِ ، وما يُعذبانِ في كبيرٍ : كان أحدُهما لا
يستبرئ من البولِ
“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini
sedang diadzab oleh Allah. Dan tidaklah keduanya diazab karena perkara yang
besar (di pandangan manusia). Salah satu dari keduanya dahulu tidak istibra
(menyempurnakan keluarnya air kecing) saat buang air kecil.” (HR. Al Bukhari
218 dan Muslim 292).
Terdapat pula hadits dari Yazdad Al Yamani
radhiyallaahu ánhu,
إذا بالَ أحدُكم فلينثُرْ ذَكرَه ثلاثَ نَتَراتٍ
“Jika salah seorang dari kalian telah
selesai buang air kecil, hendaknya dia mengurut dzakar (kemaluan)-nya tiga
kali.” (HR. Ahmad 347/4).
Ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan
untuk menyempurnakan istibra, yakni seperti berdehem/batuk, mengubah
posisi dari duduk ke berdiri, dan cara-cara lainnya sesuai dengan kondisi
masing-masing. Sebagian fuqaha, menganjurkan untuk memerciki bagian dalam untuk
menghilangkan was-was, yang mana jika terdapat basah, itu adalah dari air
percikan.
16.
Tidak buang air kecil
sambil berdiri kecuali karena udzur. Hukum buang air kecil sambil berdiri tanpa
udzur adalah makruh. Hal ini berdasarkan keterangan dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ánhu,
أنَّ النبي صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ بالَ قائمًا لعِلَّةٍ
بمأبَضِهِ
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu álaihi wa
sallam pernah buang air kecil sambil berdiri karena sakit di sebelah dalam
lutut beliau.“ (HR. Al Hakim 182/1 dan Al Baihaqi 101/1). Begitu pula
keterangan dari Hudzaifah radhiyallaahu ánhu, beliau berkata
أَتَى النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ سُبَاطَةَ قَوْمٍ
فَبَالَ قَائِمًا، ثُمَّ دَعَا بمَاءٍ فَجِئْتُهُ بمَاءٍ فَتَوَضَّأَ
“Nabi shallallaahu álaihi wa sallam
pernah mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, dan beliau buang air
kecil sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air, maka aku pun
membawakan air kepada beliau, lalu beliau berwudhu.” (HR. Al Bukhari 224
dan Muslim 273).
17.
Tidak beristinja
menggunakan air di tempat buang hajatnya jika khawatir terkena percikan
(najis), jika memang tempat buang hajatnya adalah biasanya bukan tempat khusus
buang hajat. Dianjurkan untuk berpindah ke tempat yang lebih aman dari terkena
percikan najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Mughoffal radhiyallaahu
ánhu,
لا يَبولَنَّ أحدُكم في مُستَحَمِّه ثمَّ يتوضَّأُ فيه؛ فإنَّ
عامَّةَ الوَسْوَاسِ منه
“Janganlah salah seorang dari kalian
berwudhu di tempat mandinya, kemudian berwudhu di situ. Karena sesungguhnya
keumuman was-was dari hal tersebut.” (HR. Abu Dawud 27 dan At Tirmidzi 21
dengan sanad yang hasan).
18.
Tidak berpindah dari tempat
buang hajatnya jika dia di tempat yang khusus untuk buang hajat (toilet/WC),
karena aman dari percikan. Dan tidak disyariatkan untuk pindah jika dia bersuci
menggunakan batu, karena aman dari percikan.
19.
Menjauhkan diri tatkala
buang hajat di tempat lapang, berdasarkan keterangan dari Al Mughirah
radhiyallaahu ánhu,
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كانَ إذا ذَهَبَ
المذهَبَ أبعدَ
“Sesungguhnya dahulu Nabi shallallaahu
álaihi wa sallam jika hendak keluar ke suatu tempat untuk buang hajat, beliau
menjauh.” (HR. Abu Dawud 1 dan At Tirmidzi 20, dan beliau berkata hasan
shahih).
20.
Memasang sutrah (penutup),
yang tinggi minimalnya adalah 2/3 (dua per tiga) hasta (jika 1 hasta sekitar 60
cm, sehingga 2/3 hasta adalah sekitar 40 cm), yang jarak maksimal antara sutrah
tersebut dengan orang yang buang hajat adalah 3 hasta (tidak boleh lebih dari
jarak ini). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ánhu,
من أتى الغائطَ فليستترْ
“Barangsiapa yang hendak buang hajat,
hendaknya dia memasang sutrah (penutup).” (HR. Abu Dawud 35, Ahmad 371/2
dan yang lainnya).
21.
Tidak buang air kecil di
lubang-lubang. Hal ini juga berlaku untuk buang air besar. Berdasarkan
keterangan dari Abdullah bin Sarjas radhiyallaahu ánhu,
أَنَّ النَبِيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ نَهَى عَنِ
البَوْلِ في الجُحرِ. قال: قالوا لقتادةَ: ما يُكرَهُ مِنَ البَولِ في الجُحْرِ؟
قال: كان يُقالُ: إنَّها مَساكِنُ الجِنِّ
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu álaihi
wa sallam melarang dari buang air kecil di lubang-lubang.” Beliau berkata,
mereka bertanya kepada Qatadah, “Apa yang membuat buang air kecil di lubang itu
dibenci?” Qatadah menjawab, “Karena lubang-lubang tersebut adalah tempat
tinggal jin.” (HR. Abu Dawud 29, An Nasa-i 34, dan dishahihkan oleh Al
Hakim 186/1).
22.
Tidak buang pula buang air
kecil di tempat yang keras, dikhawatirkan ada percikan ke badan atau bajunya.
23.
Tidak buang air kecil di
tempat berhembusnya angin, karena dikhawatirkan bisa balik ke tubuh/bajunya.
Berdasarkan hadits dari Abu Musa Al Ásyári radhiyallaahu ánhu,
إذا أراد أحدُكُمْ أن يبولَ فلْيَرْتَدْ لِبَوْلِهِ ، ولا
يَستَقبِلِ الرِّيحَ ، فإنها ترد عليه
“Jika salah seorang dari kalian hendak
buang air kecil, hendaknya menyiapkan tempat (agar air kencingnya tidak
terciprat kepadanya). Dan janganlah menghadap ke angin (yang berhembus), karena
angin memantulkan kembali (percikan najis) kepadanya.”(HR. Ahmad 399/4 dan
Abu Dawud 3, dan di dalamnya terdapat kelemahan).
24.
Tidak buang hajat di tempat
aliran/saluran air.
25.
Tidak buang hajat di tempat
berbincang-bincang manusia, seperti tempat yang teduh.
26.
Tidak buang hajat di jalan
(tempat orang lewat).
27.
Tidak buang hajat di bawah
pohon yang memiliki buah, meski belum musim berbuah. Karena nanti dikhawatirkan
buah yang jatuh akan terkena najis. Hukumnya makruh jika pohon tersebut milik
sendiri. Namun, jika pohon tersebut adalah milik orang lain, maka hukumnya
menjadi haram jika tidak diketahui keridhaan orang tersebut. Larangan ini tidak
harus berada persis di bawah pohon, akan tetapi berlaku juga di lokasi
sekitarnya, dimana ada kemungkinan buah yang jatuh mencapai tempat tersebut.
Berdasarkan hadits dari Muádz radhiyallaahu ánhu,
اتَّقُوا المَلَاعِنَ الثَلَاثَةَ : البرازَ فِي المَوَارِدِ ،
وَقَارعةَ الطَرِيقِ ، وَالظِّلَّ المَمْدُوْدَ
“Jauhilah (buang hajat) di tiga tempat
yang penuh laknat; buang hajat di tempat sumber air, di tengah jalan, tempat
teduh yang terbentang.” (HR. Abu Dawud 26 dan Ibnu Majah 328, dan
dishahihkan oleh Al Hakim 126/1).
28.
Tidak buang hajat di
sisi/dekat kuburan, karena mayit dan orang yang berziarah akan terganggu.
29.
Tidak buang hajat di air
yang menggenang (tidak mengalir), berdasarkan hadits dari Abu Hurairah
radhiyallaahu ánhu,
لا يَبُولَنَّ أحَدُكُمْ في الماءِ الدَّائِمِ ثُمَّ
يَغْتَسِلُ منه
“Janganlah salah seorang dari kalian
buang air kecil di air yang menggenang (tidak mengalir), kemudian mandi dari
air tersebut.” (HR. Al Bukhari 239 dan Muslim 282).
30.
Tidak buang hajat di air
yang sedikit, tapi mengalir. Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ menghukumi haram
tentang hal tersebut, baik kondisinya mengalir ataupun diam, karena
merusak/menyia-nyiakan air.
31.
Tidak dalam posisi
menghadap matahari dan bulan. Berdasarkan keterangan di Fathul Ilahil Malik
Qasim An Nuri (hal. 55), Menurut pendapat mu’tamad, tidak makruh menghadap atau
membelakangi matahari dan bulan.
32.
Tidak menghadap Baitul
Maqdis dan membelakanginya, kecuali jika di tempat yang dikhususkan untuk buang
hajat (toilet/WC), maka tidak mengapa. Hal ini berdasarkan keterangan dari Ibnu
Umar radhiyallaahu ánhumaa,
لَقَدِ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا علَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا،
فَرَأَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ علَى لَبِنَتَيْنِ،
مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ المَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ
“Suatu hari, aku sungguh pernah naik kea
tap rumah kami, dan aku melihat Rasulullaah shallallaahu álaihi wa sallam di
atas dua batu bata sedang membuang hajat dalam keadaan menghadap Baitul
Maqdis.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Hal-hal yang diharamkan bagi orang yang buang hajat:
1.
Buang air kecil di makanan,
baik makanan untuk manusia atau makanan untuk jin.
2.
Buang air kecil di tulang,
baik tulang manusia atau tulang hewan.
3.
Buang air kecil di benda
yang diagungkan, seperti nama-nama Allah, nama-nama nabi, nama-nama malaikat,
dan segala sesuatu yang dimuliakan sesuai syariat.
4.
Buang air kecil di atas
kubur, karena akan menyakiti mayit dan terdapat bentuk penghinaan dan
perendahan dan pelecehan.
5.
Buang air kecil di dalam
masjid, meskipun ditampung dalam wadah.
6.
Buang hajat (baik buang air
besar atau buang air kecil) dalam kondisi menghadap dan membelakangi kiblat di
tempat lapang jika tanpa penghalang, berdasarkan keterangan dari Abu Ayyub
radhiyallaahu ánhu, bahwasannya Nabi shallallaahu álaihi wa sallam bersabda,
إذا أتَيْتُمُ الغائِطَ فلا تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ، ولا
تَسْتَدْبِرُوها ببَوْلٍ ولا غائِطٍ، ولَكِنْ شَرِّقُوا، أوْ غَرِّبُوا
“Jika salah seorang dari kalian buang
hajat, maka janganlah menghadap atau membelakangi arah kiblat, baik untuk buang
air kecil atau buang air besar. Akan tetapi, menghadaplah ke arah timur dan
barat (karena arah kiblat kota Madinah adalah selatan-pent.).” (HR. Al
Bukhari 394 dan Muslim 264).
Adapun, jika berada di dalam bangunan, maka
diperbolehkan untuk menghadap atau membelakangi kiblat, dengan syarat adanya
penutup (sutrah/satir), yang jaraknya dekat, yakni maksimalnya sekitar 3 hasta
(sekitar 150 cm, Fathul Ilahil Malik – Qasim An Nuri), dan tingginya minimal
adalah 2/3 hasta (sekitar 34 cm, Fathul Ilahil Malik – Qasim An Nuri). Penutup
ini bisa berupa dinding, cekungan/tanah rendah, hewan tunggangan (sapi/unta
yang menderum atau kambing yang berdiri), atau ujung baju yang terjulur yang
berada di arah kiblat. Jadi, yang menjadi patokan bolehnya menghadap atau
membelakangi kiblat, baik di tempat lapang atau di bangunan adalah keberadaan
sutrah (yang jarak maksimalnya dan tinggi minimalnya sudah disebutkan
sebelumnya). Jika tidak dijumpai adanya sutrah tersebut, maka hukumnya menjadi
haram.
Terkait point nomor 6 ini, demikian adalah
pendapat penulis Umdatus Salik wa Uddatun Nasik (Imam Ibnu An Naqib Al
Mishri) terkait hukum menghadap dan membelakangi kiblat, namun, pendapat yang
lebih detil adalah patokan boleh tidaknya menghadap kiblat adalah apakah tempat
tersebut disiapkan untuk tempat buang hajat atau tidak, meskipun di tanah
lapang. Jika memang disiapkan untuk tempat buang hajat, maka hukumnya mubah,
tidak haram dan tidak makruh. Suatu tempat mencukupi disebut sebagai tempat
yang disiapkan untuk buang hajat jika sudah pernah dipakai, meskipun hanya 1
kali, dan akan dipakai lagi untuk buang hajat.
Penulis Umdatus Salik wa Uddatun Nasik
(Imam Ibnu An Naqib Al Mishri) juga menyebutkan bahwa hukum membuang hajat di
marakhid (toilet-toilet) yang jaraknya jauh (lebih dari 3 hasta) atau tingginya
kurang dari 2/3 hasta adalah makruh. Akan tetapi, pendapat mu’tamad dalam
madzhab Syafii, hukum menghadap dan membelakangi kiblat saat buang hajat di
marakhid (toilet-toilet) adalah mubah dan tidak makruh. Terdapat pula pendapat
lain yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah khilaful aula (menyesilihi yang
lebih utama), tidak sampai makruh.
Tata
Cara Berwudhu
Tata cara wudhu yang benar telah dijelaskan dalam hadits
yang diriwayatkan dari Humran, seorang bekas budak ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallahu anhu :
“Suatu ketika ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu
meminta air wudhu, kemudian dia berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak
tangannya 3 kali. Kemudian berkumur-kumur dan istintsar (mengeluarkan air dari
hidung, tentunya didahului memasukkan air ke hidung; istinsyaq). Lalu membasuh
wajahnya 3 kali. Setelahnya membasuh tangan kanannya sampai ke siku 3 kali.
Kemudian membasuh tangan kirinya dengan cara yang sama.
Selanjutnya beliau mengusap kepalanya dengan air (1 kali). Terakhir membasuh
kaki kanannya sampai mata kaki 3 kali, lalu membasuh kaki kirinya dengan cara
yang sama. Kemudian Utsman mengatakan,
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Siapa yang berwudhu
seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dengan tanpa menyibukan
jiwanya, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”
Ibnu Syihab mengatakan bahwa para ulama berkata, “Wudhu
ini adalah wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seseorang untuk shalat.” (Muttafaq
‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/204 no. 226)], ini adalah lafazhnya, Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/266 no. 164), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(I/180 no. 106), dan Sunan an-Nasa-i (I/64).)
Cara Wudhu yang Benar Berdasarkan Hadits
Maka dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang
lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
secara ringkas sebagai berikut :
1.
Berniat wudhu (dalam hati)
untuk menghilangkan hadats, ikhlas karena Alloh semata.
Rasulullah shollallahu ‘alayhi wasallam
bersabda:
إنّما الأعمال بالنيات
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung
niatnya.”
2.
Tasmiyah (mengucapkan
basmalah)
3.
Membasuh dua telapak tangan
sebanyak tiga kali.
4.
Mengambil air dengan tangan
kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan
istinsyaq (memasukkan air ke hidung). Kemudian ber-istintsar (mengeluarkan air
dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak tiga kali.
Cara berkumur-kumur dan memasukkan air
dalam hidung sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu :
فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ
ذَلِكَ ثَلاَثًا
“Kemudian ia berkumur-kumur dan
memasukkan air dalam hidung melalui satu telapak tangan dan hal demikian
dilakukan sebanyak tiga kali.” ‘Abdullah bin Zaid mengatakan itulah cara wudhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 235)
Berdasarkan hadits ini Ibnul Qoyyim
menyimpulkan; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyambungkan antara
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (dengan satu cidukan, satu kali
jalan). Beliau mengambil sebagian cidukan untuk mulut dan sebagiannya lagi
untuk hidungnya.
5.
Membasuh seluruh wajah dan
menyela-nyela jenggot sebanyak tiga kali
Dari ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela air ke jenggotnya ketika berwudhu.
(HR. Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) (HR. Tirmidzi, no. 31; Ibnu
Khuzaimah, 151, 152.). Disyariatkan menyela-nyela jenggot ketika wudhu. Ini
berlaku jika jenggot lebat (menutupi kulit). Adapun jenggot yang tipis yang
tidak sampai menutupi kulit, maka wajib dicuci, termasuk pula kulitnya.
Menurut Ibnul Qayyim menyela-nyela jenggot
di sini dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kadang-kadang. Jadi
yang sesuai sunnah adalah kadang dilakukan dan kadang ditinggalkan.
6.
Membasuh tangan kanan
hingga siku bersamaan dengan menyela-nyela jemari sebanyak tiga kali kemudian
dilanjutkan dengan tangan kiri.
7.
Menyapu seluruh kepala
dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke
depan, dilakukan sebanyak satu kali, kemudian dilanjutkan dengan menyapu bagian
luar dan dalam telinga sebanyak satu kali.
8.
Membasuh kaki kanan hingga
mata kaki bersamaan dengan menyela-nyela jemari sebanyak tiga kali kemudian
dilanjutkan dengan kaki kiri.
9.
Tartib
10.
Lalu dilanjutkan dengan
membaca do’a.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ
مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْن
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Artinya: Aku bersaksi bahwasanya tiada
sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku
bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah
aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci. Mahasuci
Engkau Ya Allah dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat
kepada-Mu.
Tata
Cara Tayamum
1.
Membaca bismillah
2.
Niat tayamum
Adapun niat tayamum sebagai berikut:
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ فَرْضً ِللهِ
تَعَالَى
Artinya: "Aku niat bertayammum
untuk dapat mengerjakan salat, karena Allah ta’ala"
3.
Menepuk kedua telapak
tangan kepermukaan tanah dengan sekali tepukan
4.
Meniup kedua telapak tangan
sebelum membasuhkannya keanggota tayamum
5.
Mengusap muka dan kedua tangan
hingga siku.
Tertib (berturut-turut).
Sumber: https://darussalam.or.id/2021/03/adab-dan-hukum-istinja-bersuci-buang-hajat/
https://www.bacaanmadani.com/2017/01/pengertian-hadas-macam-macam-penyebab.html
No comments:
Post a Comment